Minggu, 10 Juli 2016

Patung Tololiu

Tentang Tomohon (7)


Patung Tololiu konsep awal adalah Patung Tumalun



Legenda
Menjelang akhir tahun 1973, di pertigaan di lokasi itu berdiri sebuah tugu setinggi sekitar 3 m yang diberi nama oleh masyarakat Tomohon ketika itu "Tugu Perdamaian". Sebelum benama "Tugu Perdamaian" namanya "Tugu Pembebasan". 

Kenapa diberi nama "Tugu Pembebasan"? 
Karena ketika pecah konflik phisik Permesta tahun 1958, Tomohon diduduki oleh tentara Pusat TNI Batalyon 501 Brawijaya dibawah pimpinan Mayor Sumadi. Atas inisiatif Mayor Sumadi, maka di lokasi itu didirikan tugu kemudian diberi nama "Tugu Pembebasan".

Uniknya, setelah aman/damai, oleh masyarakat Matani tugu itu diberi nama "Tugu Perdamaian". Oleh sebab itu, lokasi itu menjadi populer dengan sebutan tugu. Tahun 1974 "Tugu Perdamaian" di bongkar oleh Gubernur H.V Worang dengan alasan akan didirikan "Patung Tumalun". Gubernur Worang saat itu, senang sekali mencari-cari tokoh-tokoh Minahasa yg terkenal masa lalu, kemudian ingin mengabadikannya dan ingin mencari peninggalan (pandangan saat itu). Tumalun adalah seorang dotu, tokoh legenda Pakasaan Tombulu yang dikenal menjaga warganya dari gangguan penduduk lain dan sangat menjaga kelestarian hutan karena ia memang tinggal di hutan (Talun artinya hutan). 

Suatu ketika dari cerita-cerita rakyat, warga pakasaan Tombulu mendapat gangguan dari seorang dotu yang lebih besar dan tinggi badannya dari daerah lain (mohon maaf nama dotu itu sengaja tidak ditulis mengingat jangan salah persepsi). Dotu Tumalun mendapat pengaduan dari warganya lalu menemui dotu yang dianggap pengganggu. Pertemuan justru hanya melahirkan perkelahian. 

Sebelum terjadi perkelahian, kedua dotu petarung itu melakukan semacam ikrar. Lawan dari Dotu Tumalun berikrar, kalau ia sampai kalah maka ia bersedia kepalanya dipancung. Pertempuran terjadi dan Dotu Tumalun keluar sebagi pemenang. Singkat kata, cerita legenda heroisme ini rupanya mau dijadikan inspirasi oleh Gubernur H.V Worang sehingga disuruhlah buat Patung Tumalun. 

Pendirian "Patung Tumalun" lalu diprotes oleh masyarakt Tomohon ketika itu karena dalam rancangan gambarnya, sosok Tumalun memegang kepala manusia ditangan kanan sementara tangan kiri memegang pedang. Masyarakat protes keras karena dianggap tidak etis dan hanya akan memunculkan permusuhan dikemudian hari. Sang kontraktor (lokal) dan pematung (lokal) memenuhi permintaan itu padahal profil patung saat itu sudah selesai 95%. 

Karena sudah harus di robah namanya bukan lagi bernama "Patung Tumalun" maka dibutuhkan nama tokoh yang akan di patungkan sebagai pengganti sosok Tumalun. Maka muncul nama dadakan yakni, "Patung Tololiu Tua". Nama itu pun mendapat resistensi dari keluarga Palar (sebelum bermarga Palar yang diambil dari Mangantung Palar, leluhur tua bermarga Tololiu) Matani. Mengapa keluarga Palar protes? Karena sosok Tololiu Tua yang dipatungkan 'terkesan angker' itu bukan tipikal Dotu Tololiu Tua yang hidup sekitar di abad ke 16. 

Keluarga Palar setuju jika sosok yang disebut Tololiu Tua itu, tangan kirinya memegang daun "woka" yang menutup bagian kepala dan tangan kanannya memegang "rangkang" (kayu/buluh yang halus).

 Tololiu Tua menurut para turunannya adalah seorang pemimpin anak suku Tombulu yang dikenal berwibawa karena dialah yang menyatukan negeri-negeri kecil menjadi Tomohon. 

"Patung Tololiu Tua' lalu diresmikan pada tahun 1974 oleh Bupati Minahasa Letkol J.F Lumentut. 

Demikian sekilas cerita tentang berdirinya "Patung Tololiu Tua". Orang orang sejak tahun 1974 sudah tidak lagi menyebut "Tugu Tololiu" tapi "Patung Tololiu" yang seharusnya harus disebut lengkap "Tugu atau Patung Tololiu Tua" karena kalau cuman sebut "Tugu atau Patung Tololiu" bisa disangka Tololiu yang dimaksud adalah Tololiu Palar bekas Hukum Tua I negeri Matani. 

Demikianlah sekilas sejarah pembuatan/pendirian "Patung Tololiu Tua" agar generasi sekarang paham dan memahaminya, makaseh.



Foto ini dokumentasi dari Tropeum Museum Institut Belanda diperkirakan diambil gambarnya sebelum tahun1928. Di posisi tengahnya yang sekarang berdiri "Patung Tololiu Tua", pada tahun 1928 pernah dibangun sebuah Paal (Paal kilometer) setinggi 1.5 m. Di sekeliling Paal Kilometer itu terdapat dua tiang penunjuk arah ke Tondano (belok ke kiri) dan ke Kawangkoan (jalan lurus). Lokasi itu kemudian dinamai "Kateluan Park" (Taman Pertigaan). Taman ini, memasuki pecahnya Permesta, sudah tidak berfungsi lagi lalu diganti "Tugu Pembebasan" pada tahun 1958.




Murid wanita "Meisjesschool"

Tentang Tomohon (6)


Murid wanita "Meisjesschool" di Air Terjun "Tumimperas" Pinaras thn 1919


Murid-murid "Meisjesschool" (Sekolah Nona) foto bersama di depan sekolahnya thn 1919 kini di lokasi R.S Bethesda. Sekolah ini kemudian pindah di Kaaten Matani 1 dan setelah gabung dengan sekolah "Jongenschool" (Sekolah Nyong) lalu bernama "Louwerierschool" (diambil dari nama pendiri sekolah Ds. J. Louwerier.




Avitoria, Avitoria...

Tentang Tomohon (6)



Ada lagu rakyat kata-katanya.....Avitoria, Avitoria, Encerewer rewer bom bom (bahasa Manado pasar) kini dinyanyikan artis daerah Melly Pandean. Sebetulnya lagu tsb.....Oh Victoria, Oh Victoria en Scheer ' je John Brown (bahasa Belanda). Artinya, Ratu Victoria, Ratu Victoria pergi dan keluar kamu John Brown (Kapten Kapal). Lagu ini sebuah pantun lantas diplesetkan menjadi ejekan. Lagu ini diajarkan oleh tentara-tentara Belanda kepada orang Minahasa untuk mengejek orang (tentara) Inggris yang akan masuk menjajah Minahasa pada thn 1810 (1811). Gambar di atas adalah kapal uap milik KPM Belanda bernama "Swartenhondt" yang lagi merapat di Pantai Manado pada thn 1950-an dan disaksikan orang-orang Manado. Waktu itu, pelabuhan Manado belum dibangun.

Klinik Bersalin “Jemima”

Tentang Tomohon (5)

Lebih dari separoh hidupnya (50 tahun) hanya untuk melayani. Melayani dengan kasih sayang tanpa istirahat hingga meninggal dunia. Bahkan hingga akhir hayatnya dengan klinik bersalin “Jemima” yang didirikannya bersama bidan J. Poluan-Wokas telah melayani ribuan persalinan, hampir tidak ada satu bayi pun yang meninggal. Kalaupun ada bayi yang meninggal, itu sejak dari kandungan karena al; jantung. 

Bahkan banyak pasien yang kurang mampu, tidak dipungut bayaran alias 'gratis' melahirkan. Rumahnya pun di Kel. Matani Tiga Tomohon Tengah (Kini tempat usaha air minum "Solafide Airo/Depan Bank Mega) dijadikan tempat bersalin. "Yang utama, melayani dan selamatkan bayi dan ibu yang akan melahirkan." itu prinsip bidan yang lahir 30 September 1929. Luar biasa. 

Dialah Claartje Clara (Non) Lantang, orang Tomohon lebih akrab memanggilnya Suster Lantang. Anak ketiga dari tujuh bersaudara ini, buah perkawinan mantan Hukum Tua Desa Kolongan Kombi (1923-1958) Willem Tandiapa Lantang dan Calasina (Tasi) Loing ini menikah dengan Robert Alexander Pandey di Makassar pada hari Rabu, 21 Juni 1961. Tahun 1946, Tamat Sekolah Djoem’at Masehi Indjili di Kolongan Kombi. Tahun 1948, Tamat Sekolah Kepandaian Gadis di Tondano. Tahun 1957, Tamat Sekolah Djuru Rawat yang dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia/Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi di Makassar. Tahun 1961, Tamat Pendidikan Bidan di Rumah Bersalin "Siti Fatimah” Makassar yang diselenggarakan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara. Tahun 1962, mendapat SK. Penempatan untuk diperbantukan di Daerah Tingkat II Sindjai, oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara akan tetapi Suster Lantang lebih memilih untuk kembali ke Tomohon dan mengabdi di Rumah Sakit yang mengutusnya, RS. "Bethesda" Tomohon. Tahun 1966, mulai bekerja di RS. Bethesda. Tahun 1991, Pensiun di Rumah Sakit ‘Bethesda” Tomohon. 

Tahun 1991, mendirikan Klinik Bersalin “Jemima”. Banyak siswa sekolah kebidanan yang mengadakan praktek di klinik tsb, bahkan dijadikan tempat pelatihan resmi bagi para” bidan” kampung. Klinik bersalin "Jemima”, sejak tahun 1970-an telah menjadi tempat persalinan khususnya untuk menolong saudara-saudara/kerabat almarhumah yang kurang mampu. Suster Lantang melayani tidak hanya di klinik tapi juga rajin 'blusukan' sampai di kampung-kampung. Di tahun 1970-an, ia mendapat sepeda jengki yang dipakainya untuk bertugas mengadakan pelayanan kesehatan secara rutin di beberapa desa/kampung di Tomohon. 

Suster Lantang meninggal tahun 2007 dan Tuhan pun telah mengatur hari kematiannya. Ia meninggal tepat pada "Hari Kasih Sayang" 14 Februari 2007 dalam usia 77 tahun. Ini dimaksudkan, agar kita mudah mengingat akan amal baktinya. 

Ada beberapa cerita menarik di Klinik Bersalin “Jemima” setelah Suster Lantang meninggal. Banyak orang yang belum tahu kalau Suster Lantang sudah meninggal. Sehingga sampai dengan beberapa tahun setelah kematiannya masih banyak pasien yang datang dan suka lewat tangan dari Suster Lantang untuk persalinan. Ketika tiba di klinik pasien baru tahu kalau Suster Lantang sudah meninggal dan karena sudah dekat-dekat mau melahirkan, sehingga ada yang melahirkan di kendaraan (oto dan bendi). Ada yang baru turun dari bendi bahkan ada yang datang berjalan kaki tengah malam dan akhirnya melahirkan di trotoar dan ditolong oleh para tetangga sebelum pergi ke rumah sakit. 

Sembilan tahun sudah Suster Lantang dipanggil Tuhan. Namun kebaikan dan ketulusannya melayani tetap membekas dan dikenang banyak orang dan telah menjadi sumber inspirasi dan motivasi bagi bidan-bidan masa kini dan akan datang. Tampak foto Suster Lantang setelah lulus pendidikan kebidanan di Makassar tahun 1961.



Sumber

Rk/Rm "Kitsang" Legendaris, Rk "Hok Lae" Fenomenal

Tentang Tomohon (4)

12 tahun jelang Indonesia Merdeka (17/8/45) tepatnya tahun 1933, Tomohon waktu itu masuk dalam Distrik Manado dibawah Hukum Besar Frederik Ruata (1927-1933) ternyata sudah punya rumah kopi dan diberi nama Rumah kopi "Kitsang". Nama "Kitsang" diambil dari nama dua orang sahabat; "Kit dan Sang", keduanya asal Kanton Tiongkok. 

Selain menjual kopi dan kopi susu, jualan utama "Kitsang" adalah rumah makan dengan menu utama, mie kua, mie goreng, cap cae dan nasi campur. Lokasi Rk/Rm "Kitsang" sejak berdiri tahun 1933 pemiliknya bernama aso Au Yang Mau hingga saat ini tidak pernah berpindah tempat yakni di Kelurahan Kamasi (samping toko/supermarket "Grand Central 1". Rk/Rm "Kitsang" memang legendaris selain sudah berusia tua, juga dijuluki "DPRD" Tkt 3 karena politisi Tomohon sejak pasca Permesta sering berkumpul dan bicara politik disitu hingga kini. Salah satu jebolan "lulusan" Dewan Kitsang adalah Jefferson SM Rumajar mantan Walikota Tomohon. Bahkan ketika Kota Tomohon mau dicetuskan, Rk/Rm "Kitsang" menjadi 'Homebase' para politisi dan pejuang Kota Tomohon. Rk/Rm "Kitsang" pernah berganti nama menjadi Rk/Rm "Meike". tapi setelah Reformasi kembali memakai nama "Kitsang"`. 

Sementara Rk dan Mie "Hok Lae" pemiliknya aso Ong Soen Khi dipanggil juga aso Akao berdiri pertama kali tahun 1950 di Paslaten tepatnya kini toko meubel milik Rosje samping Rm "Anugerah". Menjadi fenomenal karena Rk/Rm dengan andalannya Bak pao (biapong) dan Soseis sering sekali dikunjungi bukan hanya orang Tomohon tapi orang Kawangkoan dan orang Tondano. Bahkan beberapa pejabat dari Minahasa dan Manado sering singgah minum kopi disitu. Rk/Rm makan "Hok Lae" yang diambil dari kata Hok (Hokie/Berkat) dan Lae (Datang/Membawah) jadi "Membawa Berkat" melayani pelanggannya dari jam 04.00 subuh sampai jam 06,00 sore. Rk/Rm "Hok Lae" juga menjual barang kelontong dan Di Tomohon hanya sampai tahun 1960 setelah usai Permesta lalu pindah ke Manado. 

Setelah 56 tahun, kini Rk/Rm "Hok Lae" balik lagi ke tanah asalnya Tomohon dengan nama "Hok Lae" Tempo Doeloe, Rumah Kopi & Mie tepatnya di Kakaskasen 3 depan samping kiri ex Rindam. Menu andalahnya seperti ketika didirikan yakni; bak pao (biapong), soseis dan kopi, kopi susu serta mie kua dan mie goreng rasa tahun 1950-an. Salah satu anak usaha "Hok Lae" adalah Rm "Green Garden" di Kakaskasen 1 dan di Manado.




Kelurahan Kampung Jawa Tomohon

Tentang Tomohon (3)
Judie Turambi

Kelurahan Kampung Jawa Tomohon didirikan tahun 1875 oleh tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan beragama Islam asal kota Serang Provinsi Banten. Pejuang-pejuang itu diinternir (diasingkan) Belanda ke Minahasa karena dianggap berbahaya. Tokoh-tokoh itu bernama; Tubagus Buang, Penghulu Abusalam, Mas Djebeng, Mukali, Abdur Rasjid, Abdul Wahid Abdul Haji, Abdul Rais dll. Tubagus Buang adalah pemimpin perlawanan terhadap Belanda di Banten. Dia bangsawan tinggi Kesultanan Banten menjabat Hulubalang. Tubagus Buang sangat menentang Kompeni Belanda karena terjadinya kemelaratan, pemerasan, pajak yang tinggi sefrta kerja rodi. Tubagus Buang dkk gelombang pertama dibuang Belanda di Minahasa tidak membawa istri. Mereka kemudian kawin di Minahasa mengawini gadis-gadis yang belum mengenal Injil dari Sarongsong, Sonder, Pineleng dan Tondano. Tubagus Buang mengawini wanita bermarga Supit dari Lahendong, sehingga dikisahkan memperoleh hadiah perkawinan wilayah yang meliputi Kampung Jawa kini. 
Dari isterinya itu, Tubagus Buang memperoleh anak 3 orang bernama; Tubagus Agus, Tubagus Baii dan Tubagus Abdullah. Mereka kemudian mempunyai banyak keturunan hingga kini di Kampung Jawa Tomohon. 

Gelombang kedua yang datang mendiami Kampung Jawa Tomohon tapi bukan interniran, berasal dari Sulawesi Selatan dengan tokoh-tokohnya Lasambang dan Lakoro. Mereka adalah pedagang Bugis yang semula hanya menyinggahi pelabuhan Kema. Pertemuan para interniran Banten dan para pedagang Bugis dengan gadis-gadis Minahasa semula dan berawal dari perdagangan di pasar berupa ajang "baku blantek" (barter). Para "tibo-tibo" Minahasa biasanya terdiri dari kaum wanita, sementara para interniran warga Jawa punya kebiasaan membuat gula aren yang dijual di pasar Tomohon dan Manado lalu sering dibeli oleh "tibo-tibo" Minahasa. Dari pertemuan barteran itu lalu terjadi kawin-mawin campur. Kemudian pemukiman Kampung Jawa Tomohon ditambah masuknya pemuka-pemuka dari Kampung Jawa Tondano pengikut Kyai Mojo Kyai Muslim (penasehat Pangeran Diponegoro), Kyai Demak, Suratinoyo, Pulukadang dan Masloman dari Jawa Tengah yang dibuang Belanda dan tiba di Mjnahasa Thn 1830. Ketiga keturunan tsb. berbaur dan berketurunan. Perkawinan masyarakat Kampung Jawa Tomohon kemudian terjadi dengan warga Islam di Manado, Pineleng, Belang, Bolaang-Mongondow dan Gorontalo. Adat istiadat Jawa dan agama Islam tetap terpelihara. 

Meski begitu bahasa Jawa dengan aksen Tombulu dan Melayu Manado lajim dipakai hingga kini. Malah, cukup banyak penduduk Kampung Jawa Tomohon yang sangat fasih berbahasa Tombulu. Nama jalan-jalan (lorong-lorong) di dalam kampung memakai nama lokal dan berbahasa Tombulu. Kampung Jawa memiliki Mesjid bernama Mesjid "Nurul Iman" yang meruplakan tempat ibadah umat Islam tertua di Tomohon . Kampung ini mereka namakan Kampung Jawa untuk mengenang tanah leluhurnya tanah Jawa. Tapi oleh penduduk Tomohon disebut "Tonyawa" (Orang Jawa). 

"Selamat Hari Raya Idul Fitri, 1437 H" Mohon Maaf lahir dan Bathin.

Foto di bawah, 
Tampak Ferry Musildan Baldan waktu itu Komisi II DPR-RI sedang berkunjung di Mesjid "Nurul Iman" dalam rangka kesiapan Tomohon menjadi daerah Kota Otonom. 
Foto Judie Turambi.







Kelurahan Kampung Jawa Tomohon

Tentang Tomohon (3)

Kelurahan Kampung Jawa Tomohon didirikan tahun 1875 oleh tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan beragama Islam asal kota Serang Provinsi Banten. Pejuang-pejuang itu diinternir (diasingkan) Belanda ke Minahasa karena dianggap berbahaya. Tokoh-tokoh itu bernama; Tubagus Buang, Penghulu Abusalam, Mas Djebeng, Mukali, Abdur Rasjid, Abdul Wahid Abdul Haji, Abdul Rais dll. Tubagus Buang adalah pemimpin perlawanan terhadap Belanda di Banten. Dia bangsawan tinggi Kesultanan Banten menjabat Hulubalang. Tubagus Buang sangat menentang Kompeni Belanda karena terjadinya kemelaratan, pemerasan, pajak yang tinggi sefrta kerja rodi. Tubagus Buang dkk gelombang pertama dibuang Belanda di Minahasa tidak membawa istri. Mereka kemudian kawin di Minahasa mengawini gadis-gadis yang belum mengenal Injil dari Sarongsong, Sonder, Pineleng dan Tondano. Tubagus Buang mengawini wanita bermarga Supit dari Lahendong, sehingga dikisahkan memperoleh hadiah perkawinan wilayah yang meliputi Kampung Jawa kini. 
Dari isterinya itu, Tubagus Buang memperoleh anak 3 orang bernama; Tubagus Agus, Tubagus Baii dan Tubagus Abdullah. Mereka kemudian mempunyai banyak keturunan hingga kini di Kampung Jawa Tomohon. 

Gelombang kedua yang datang mendiami Kampung Jawa Tomohon tapi bukan interniran, berasal dari Sulawesi Selatan dengan tokoh-tokohnya Lasambang dan Lakoro. Mereka adalah pedagang Bugis yang semula hanya menyinggahi pelabuhan Kema. Pertemuan para interniran Banten dan para pedagang Bugis dengan gadis-gadis Minahasa semula dan berawal dari perdagangan di pasar berupa ajang "baku blantek" (barter). Para "tibo-tibo" Minahasa biasanya terdiri dari kaum wanita, sementara para interniran warga Jawa punya kebiasaan membuat gula aren yang dijual di pasar Tomohon dan Manado lalu sering dibeli oleh "tibo-tibo" Minahasa. Dari pertemuan barteran itu lalu terjadi kawin-mawin campur. Kemudian pemukiman Kampung Jawa Tomohon ditambah masuknya pemuka-pemuka dari Kampung Jawa Tondano pengikut Kyai Mojo Kyai Muslim (penasehat Pangeran Diponegoro), Kyai Demak, Suratinoyo, Pulukadang dan Masloman dari Jawa Tengah yang dibuang Belanda dan tiba di Mjnahasa Thn 1830. Ketiga keturunan tsb. berbaur dan berketurunan. Perkawinan masyarakat Kampung Jawa Tomohon kemudian terjadi dengan warga Islam di Manado, Pineleng, Belang, Bolaang-Mongondow dan Gorontalo. Adat istiadat Jawa dan agama Islam tetap terpelihara. 

Meski begitu bahasa Jawa dengan aksen Tombulu dan Melayu Manado lajim dipakai hingga kini. Malah, cukup banyak penduduk Kampung Jawa Tomohon yang sangat fasih berbahasa Tombulu. Nama jalan-jalan (lorong-lorong) di dalam kampung memakai nama lokal dan berbahasa Tombulu. Kampung Jawa memiliki Mesjid bernama Mesjid "Nurul Iman" yang meruplakan tempat ibadah umat Islam tertua di Tomohon . Kampung ini mereka namakan Kampung Jawa untuk mengenang tanah leluhurnya tanah Jawa. Tapi oleh penduduk Tomohon disebut "Tonyawa" (Orang Jawa). 

"Selamat Hari Raya Idul Fitri, 1437 H" Mohon Maaf lahir dan Bathin.

Foto di bawah, 
Tampak Ferry Musildan Baldan waktu itu Komisi II DPR-RI sedang berkunjung di Mesjid "Nurul Iman" dalam rangka kesiapan Tomohon menjadi daerah Kota Otonom. 
Foto Judie Turambi.







Sabtu, 09 Juli 2016

Rk/m "Rita" dan Rk/m "Fang Seng"

Tentang Tomohon (2), 


Rk/m "Rita" dan Rk/m "Fang Seng" diminati pengunjung lokal. Tjioe Fong pria kelahiran Kanton China 12 Maret 1926 pertama kali tiba di Tomohon tahun 1949. Menurut cerita, ia datang di Tomohon setelah diajak oleh Lui Feng Chen (pemilik Rk/m "Fang Seng"). 

Di Tomohon bermodalkan tukang beking cepatu. Semasa masih nyong-nyong ia bekerja di tempat beking cepatu "Fang Yek" (sekarang sebagian jadi bangunan BNI' 46 Tomohon/dekat toko "Ginsa") di Kelurahan Kamasi. Tjioe Fong lalu kawin dengan seorang gadis Tomohon asal Woloan bernama Margarita Pontoh. Tjioe Fong mengenal Margaretha Pontoh karena keduanya sama-sama sebagai pekerja. Margaretha Pontoh waktu itu bekerja sebagai juru masak (koki) di Rk/m "Sedap" (kemudian menjadi Rm "Hiburan"/skrg Bank BNI'46) dekat "Fang Yek" tempat Tjioe Fong bekerja. 

Setelah kawin keduanya meneruskan usaha cepatu dan membuka usaha di lokasi sekarang milik Rm "Ekonomi" (dekat BCA) Kolongan dengan nama Toko Sepatu "Tjioe Fong" (thn 1958-1972). Kemudian mereka beralih usaha membuka rumah makan di eks Rk "Damai" (Kolongan) dengan nama Rk/m "Rita" (diambil dari nama isteri Margarita). Tjioe Fong kemudian dikenal dengan panggilan Aso Rita. Kukis Biapong dan roti bakar, kopi susu dan mie menjadi andalan jualannya. 
Tahun 1972-1982.rumah makan lalu tahun 1982-1990 toko "Rita" menjual jual alat listrik. 

Aso Rita meninggal 5 Juni 2009. Anak bungsu yang berpangkat AKBP Amelia Pontoh (Amoy) rupanya yang mewariskan usaha kedua orang tuanya. Amoy membuka restoran dgn nama "Color Full n Butik dgn nama "Moy Moy" di Jln Woloan Komplex Rumah Panggung. Sementara Rk/m "Fang Seng" yang berarti bahagia pemiliknya adalah Lui Feng Chen. 

Pria Kanton kelahiran 12/9/1920 ini pertama kali sampai di Tomohon sebelum tahun 1940 dan memulai usaha pertamanya sebagai tukang beking cepatu di lokasi dekat tukang cepatu "Gypsin" (dekat toko "Ness"/toko "Sentosa" di Kolongan. Mengenali pacarnya bermula dari Aso Lui Feng Chen menjadi langganan pembuatan/pemesanan cepatu para suster dan perawat RS "Gunung Maria". Sang pacar waktu itu bekerja di susteran Katolik Kolongan. Setelah diperkenalkan lalu 'dijodohkan' keduanya akhirnya sepakat untuk hidup bersama. Setelah kawin dengan Paulina Karundeng wanita asal Sarongsong/Tumatangtang, pada Thn 1950 memulai usaha bernama Rk/m "Fang Seng" (skrg toko/apotek "Nusantara" dan disampingnya) di Kelurahan Paslaten 1. 

Rk/m "Fang Seng" juga sempat tempat berkumpul para blantek dari Kawangkoan dan tukang bawa roda Leilem. Thn 1980, Rk/m "Fang Seng" pindah lokasi (kini menjadi tempat usaha meubel milik Roos) dan mengganti nama Rk "Jenny". Setelah itu dari rumah kopi kemudian beralih ke toko bangunan/material. Rk/m "Fang Seng" dikenal juga dengan menu utamanya biapong, soseis, roti bakar, pia dan kopi susunya disamping mie kua. 

Lui Feng Chen dikenal dengan panggilan Aso Fang Seng meninggal thn 2004 dalam usia 64 tahun. Generasi penerus usaha rumah makan dilanjutkan oleh anaknya yang kedua Adonia Lui Bun Jong alias Jong (mantan atlit Bola Volly Tomohon thn 1980-an) yang membuka rumah makan "Mentari" di Kelurahan Tumatangtang sebelumnya di Kelurahan Talete 1.


Tjioe Fong alias Aso Rita foto umur 40-an 


Lui Feng Chen alias Aso Fang Seng dan istri Paulina Karundeng dan anak-anak





Asal-usul Pertanian dan Peternakan di Tomohon

Tentang Tomohon (1)

Ketika kita sedang menyantap lesatnya sayur Kol, Petsai, kapala babi rebus, sate babi, ragei dll, Wortel dan Buncis, atau ketika sedang menikmati enaknya daging babi (babi putar, babi tore, tinorasak, kapala babi rebus, sate babi, ragei dll) pernakah selintas pertanyaan, dari mana asal sayur-sayur ini? Dan siapakah yang mengajarkan menanam sayur? Atau siapakah yang mengajarkan memelihara ternak babi dan memotong daging babi? 

Berikut ceritanya. 
Ting (Teng) Eng Poo kelahiran Thn 1883 asal Jinjiang, Distrik Quanzhou, Provinsi Fujian, China dengan beberapa temannya tiba di Manado awal Thn 1900-an jelang Revolusi Xinhai yang menggulingkan Qing Dinasty dan membentuk Republik China Thn 1911. 

Akibat krisis ekonomi yang dahsyat, banyak orang China merantau ke luar China terutama ke negara-negara Asia Tenggara. Ting Eng Poo kemudian datang Tomohon diperkirakan berusia 25 tahun lalu menikahi keke Kakaskasen Bernetji Wewengkang. Saat tinggal di Kakaskasen (kini kintalnya disamping Aula Katolik Jl. Joseph Wewengkang/Kakaskasen I) ia lalu membuka lahan perkebunan. 

Ketika berkebun bersama istrinya, Ting Eng Poo yang membawa bibit-bibit sayuran kol, petsai, caesin, wortel dan buncis dari China lalu memperkenalkan dan membagi ilmu menanam sayur dan cara bercocok tanam kepada orang tua dan pemuda-pemuda Kakaskasen yang waktu itu memang belum mengenal bibit-bibit sayuran tersebut. 

Banyak pekerja-pekerja di Kakaskasen menjadi petani-petani yang hebat dan keahlian ini menyebar ke kampung-kampung al; Paslaten, Matani, Wailan, Rurukan bahkan di beberapa daerah Minahasa lainnya seperti; Tompaso Kawangkoan. 

Ting Eng Poo yang memiliki keahlian bela diri Kungtao dikenal sebagai Kungfu yang dipelajarinya ketika masih muda di kampung halamannya bersama istrinya Bernetji Wewengkang dikaruniai 8 orang anak. Salah satu anaknya yang sukses bernama Merry Wewengkang yang bersuamikan Ronald Korompis yang berhasil mengembangkan dunia pariwisata dan pendidikan yang kita kenal dengan SMP dan SMA Lokon. Dan salah satu cucunya juga, yang memilih jalur politik adalah Jimmy Wewengkang sukses menjadi anggota DPRD Kota Tomohon periode 2014-2019. 

Ting Eng Poo meninggal 31/3/1970 dalam usia 87 tahun dan dikuburkan di pekuburan keluarga yang lahan perkebunan itu adalah lahan pertanian yang dibeli Ting Eng Poo ketika baru pertama kali memulai usaha berkebun di Kakaskasen. Beberapa tahun sebelum meninggal,Ting Eng Poo dibaptis Katolik dengan nama baptisan Paulus. 

Tokoh lain yang dikenal dan yang memperkenalkan serta mengajarkan orang Kakaskasen batanam sayur kol, petsai, caesin, wortel dan buncis bahkan yang mengajarkan orang Kakaskasen belajar memelihara ternak babi dan memotong babi adalah Ho Kwok dikenal panggilan Aso Ako. Aso Ako yang berasal dari Kanton China lahir Thn 1888. 

Diceritakan, awal Thn 1920-an Aso Ako sudah berada di Tomohon dan memulai berkebun serta mengajarkan orang Kakaskasen batanam sayur dan memelihara ternak babi. Rumah awal tempat tinggal Aso Ako di kakaskasen bilangan Talikuran tepatnya lokasi SMP N 3 di Kakaskasen I. 

Usaha Aso Ako sampai ia menikah terbilang sukses saat itu. Selain sukses usaha sayur mayur sampai ia dijuluki Aso Sayur, ia juga berhasil dengan usaha hewan ternak seperti babi, kuda dan sapi. Disebutkan kalau ternak babinya ditahun 1940-an sampai ratusan. Begitu juga dengan ternak kuda dan sapi. Ia juga punya usaha angkutan bendi sebanyak 2 buah. Orang Kakaskasen lalu menyebutnya Aso banyak duit dan memiliki banyak aset tanah dan talaga. Dalam menjalankan bisnis sayurnya Aso Akok selain berkebun ia juga yang mendistribusikan sendiri hasilnya dengan memakai roda sapi dan roda kuda miliknya sendiri. Ia banyak mendapat pesanan al; Pdt.AZR Wenas, Rk/m "Kit Sang" Aso Ako kawin dengan Lina Manopo gadis asal Kayawu. Ia mengenali Lina Manopo saat ia menjadi langganan rutin sayur dari Pdt. AZR Wenas yang waktu itu Ketua Sinode GMIM. Lina Manopo ketika itu bekerja sebagai tukang masak di kediaman Pdt. AZR Wenas di kompleks RS. Bethesda. Karena sering bertemu dan sudah suka-sama suka, akhirnya Pdt. AZR Wenas menikahkan keduanya. Mereka kemudian dianugerahi 10 anak. 

Dimasa tuanya hingga meninggal Aso Kwok tinggal di rumahnya di Kakaskasen II/Jl. Utama Kakaskasen. Aso Ako meninggal tahun 1963 dalam usia 75 tahun. Baik Aso Ako dan Aso Ting Eng Poo keduanya masih mempraktekkan tradisi leluhurnya yaitu; menghisap tembakau dengan menggunakan batang bambu (Oncoe) yang terdiri dari beberapa ruas bambu kecil dengan panjang sekitar 60-80 cm. Namun kedua tokoh China perantauan inii, Aso Ting Eng Poo dan Aso Ho Kwok tidak salah kalau kita menyebutnya sebagai pionir /pelopor tanaman hortikultura di Tomohon, Minahasa bahkan Sulawesi Utara karena jasa mereka tak ternilai. 

Nah, pertanyaan sudah terjawab, olehnya tidak boleh lupa. Ketika kita sedang makan sayur kol, petsai, caesin, wortel, buncis, babi putar, babi tore, tinorasak, kapala babi rebus, sate babi, ragei dll, ingat Aso Ting Eng Poo dan Aso Ho Kwok (Aso Ako)...


Foto di bawah; 
Aso Ho Kwok (Aso Ako) 

 Aso Ting Eng Poo