Selasa, 29 Januari 2008

ciri-ciri pria


CIRI-CIRI FISIK:

1. Permukaannya sering ditutupi rambut. Lebat di beberapa bagian, jarang di bagian lain.

2. Mendidih ketika tertekan, membeku jika dihadapkan dengan logika, mencair jika diperlakukan bagai dewa.

3. Mudah hilang keseimbangan jika bersenyawa dengan C’H'-OH (Alkohol)

4. Cenderung mudah jatuh ke dalam enerji rendah apabila bereaksi dengan “wanita”.

5. Jarang jujur setelah berusia 14 tahun

6. Menjadi gigih dan tidak menyerah jika tantangan datang tetapi lemah oleh kelembutan, bujuk rayu dan sanjungan.

7. Sering mudah rusak akibat reaksi langsung dari jebakan “wanita”.

SIFAT-SIFAT KIMIAWI:

1. Memiliki semua bentuk reaksi keinginan terhadap wanita sekalipun jika reaksi tersebut bahkan tak mungkin berkelanjutan.

2. Bisa bereaksi cepat dengan beberapa isotop wanita dalam kondisi ekstrem.

3. Memiliki sifat yang kuat untuk menyakiti dan mengecewakan wanita.

4. Biasanya mau bereaksi dengan wanita mana saja.

5. Reaksinya bisa lambat, tenang, cepat, hingga secepat kilat.

6. Ketika larut dengan alkohol, ia menjadi tak berdaya dan menolak unsur-unsur lain.

7. Kurang senang dengan tetek bengek urusan rumah tangga

8. Kurang suka berurusan dengan keperluan anak-anak kecil.

Kamis, 17 Januari 2008

Minahasa

Minahasa

Minahasa berasal dari kata Esa yag berarti satu; kata Mah-esa berarti menyatukan, yakni menyatukan berbagai kelompok sub-etnik Minahasa yang terdiri dari Tontemboan, Tombulu, Tonsea, Tondano, Ponosakan, Pasan, Ratahan, dan Bantik. Nama Minahasa pertama kali muncul dalam laporan Residen J.D Schierstein, tanggal 8 Oktoer 1789, yaitu tentang perdamaian yang telah dilakukan oleh kelompok sub-etnik Bantik dan Tombulu (Tateli); demikian pula antara kelompok sub-etnik Tondano dan Tonsawang (Godee Molsbergen, 1928 : 53).

Minahasa adalah semenanjung yang terletak di bagian paling utara dari semenanjung pulau Sulawesi, yaitu antara 0 derajat51’ dan 1 derajat 51’ 40” lintang utara dan antara 123 derajat 21’ 30” dan 125 derajat 10’ bujur Timur. Luas semenanjung adalah 5373 kilometer persegi. Iklim daerah Minahasa terpegaruh oleh angin muson. Pada bulan September sampai April, bertiup angin pembawa hujan lebat. Bulan Mei sampai November bertiup angin selatan ke barat laut. curah hujan di darerah pedalaman Minahasa terhitung tinggi yaitu 4188mm pertahun dan jumlah curah hujan mencapai 195 hari. Suhu pesisir pantai agak tinggi, namun daerah pegunungan temperatur menunjukkan 26-27 derajat celsius pada musim hujan. Jenis vegetasi yang paling dominan sekarang adalah pohon kelapa (cocos nucivera) yang terdapat sejak Zaman Portugis, sedangkan sejak dahulu kala telah ada pohon seho (aranga sachariferum) sebagai pohon yang serba guna, dan sekarang yang menjadi tanaman favorit adalah Cengkih dan Vanili. Kuda (kawalo) telah dikenal penduduk sejak zaman spanyol sedangkan sapi didatangkan dari Benggala, India sejak zaman V.O.C (Tjahaja Siang, Januari 1870)

Bentuk masyarakat Minahasa pada zaman dahulu adalah bentuk Tribe. Bentuk masyarakat demikian dirinci oleh George Foster dkk dalam “Peasant Society” (1967) sebagai “Tribal System” atau kelompok masyarakat pedalaman yang pokok kehidupan adalah ladang pertanian. Unit politiknya yang tertinggi adalah Walak. Pada zaman dahulu dapat saja seorang walak kepala sub-etnik menjadi seorang Walian (pendeta religi pribumi) dan dalam fungsi seperti itu, kekuasaanya menjadi lebih mutlak. Ia akan merupakan seorang yang dekat dengan alam, karena dia harus dapat dengan cepat menangkap gejala-gejala alam untuk mengatasi persoalan yang mugkin terdapat di wilayahnya. Jadi dia harus seorang yang dapat membaca gejala-gejala alam yang diberikan alam sekitarnya, dan seorang yang mengerti akan batas-batas wewenang yang diberikan kepadanya. Seorang pimpinan dianggap seoseorang yang memiliki “kete” atau kekuatan. Karena memiliki kekuatan ini, maka ia dapat diangakat menjadi pemimpin. Ia dapat dianggap yang terbaik diantara warga sederajatnya yang terdapat dalam wilayahnya. Oleh sebab itu ia menjadi unsur “primus interpares” desanya. Dalam peran ini dia juga tidak boleh sewenang-wenang menggunakan kekuasaanya, terutama dalam soal pembagian tanah, karena dia juga bisa dikenakan sanksi dari “Opo” atau semacam sanksi Ilahi. Ia dapat menjadi “wales” maka akibatnya berat. Ia akan mendapat nama jelek dan dikucilkan dari masyarakat, sebagai hukuman bagi si pemimpin (J.A.T. Schwrz, Tontemboancher Teksten : 1907:133,381). Dalam istilah moderen disebut “character assassination”.

J.G.F Riedel sebagai seorang ahli pemerintahan pada tahun 1870 menilai pengangkatan kepala walak sebagai suatu yang khas di Minahasa. Riedel menulis sebagai berikut,”walaupun siapa saja di dalam wilayah itu, dapat dipanggil untuk memimpin pemerintahan yang dipilih oleh wakil-wakil/”ngaran” untuk menjadi kepala (abakai oem banoea), tetapi dalam cara memilih mereka tidak sembarangan”.

Batu Pinabetengan

Batu ini terdapat di daerah Tompaso, Minahasa Tengah, kira-kira 10 km masuk dari jalan raya Tompaso, dan terletak di lereng gunung Tonderukan, dekat gunung Soputan. Di pegunungan Tonderukan terdapat banyak batu. Menurut para ahli arkeologi batu-batu tersebut termasuk jenis “menhir”, yang dikenal sejak zaman pra sejarah dan termasuk tradisi “megaliktik”. Batu-batu seperti itu yang terdapat dilereng gunung Tonderukan menjadi tempat duduk untuk orang-orang mendengar bunyi burung. Salah satu batu yag letaknya

lebih ke puncak dari batu pinabetengan dinamakan “kekeretan”, penduduk percaya bahwa itulah tempat duduk Opo Muntu Untu, bila ia turun maka disertai gemuruh yang dahsyat, dan biasanya turun ke gunung soputan sesudah itu baru ke gunung Tonderukan. Bila dia hadir maka manguni akan memberitakannya. Terdapat pula batu yang lain yang dikatakan tempat duduk Opo Kopero. Opo Muntu Untu adalah utusan Yang Maha Tinggi, atau Kasuruan (Tuhan). Kasuruan akan menyuarakan pesanannya melalui Manguni yang dilambangkan sebagai burung yang bijaksana. Bunyi yang bagus disebut Maapi. Manguni dipelihara oleh Opo khusus yaitu Opo Mamarimbing. Oleh sebab itu Manguni disebut juga se kokok se Mamarimbing atau burungnya Opo Mamarimbing yang dalam religi pribumi adalah juru bicara Kasuruan. Batu Pinabetengan merupakan suatu bukti bahwa Minahasa tegah-lah dahulu menjadi pusat kebudayaan nenek moyang. Dari sini, kita melihat bahwa cerita “lumimuut dan Toar” memiliki keterkaitan yang erat hubungnnya dengan cerita Batu Pinabetengan atau Batu pembagian wilayah untuk para sub-etnik. Setiap suku atau sub-sub yang datang kemudian seperti Tonsawang, Pasan, Ratahan, dan Bantik harus mengakui ikrar yang dilakukan di batu Pinabetengan yaitu mereka adalah satu keturunan, dari Lumiuut dan Toar,akibatnya versi mitos Lumimuut danToar menjadi banyak, mencapai lebih dri 90 versi. Tetapi terdapat versi yang sama dalam setiap cerita yaitu terdapatnya tanah,air dan batu.

dari seluruh cerita Batu Pinabetengan dapat disimpulkan bahwa, disitu adalah pusat dari religi pribumi. Kemudian batu itu menjadi simbol dari keseimbangan dari para sub-etnik yag datang kemudian. Jadi percampuran etnik untuk “Orang Minahasa” bukanlah sesuatu yang baru. Menerima etnik lain adalah suatu yang lumrah. Perlu dicatat bahwa Batu Pinabetengan itu diketahui pertamakali sebagai tempat pemujaan dari religi pribumi “Orang Minahasa” oleh J.G. Schwarz, penginjilan Nederlandsche Zendeling Genootschap (NZG ) yang bertugas di daerah Langouwan dan sekitarnya di tahun 1832.

TONA'AS ABAD KE - 18

Tahun 1645 kepala-kepala walak Minahasa, UMBO (Tonsea), LONTA’AN Kakaskasen), LUMI (Tomohon), TAULU (Wenang), KALANGI (Ares), POSUMA (Tombariri), SAWIJ (Jurubahasa), memakai perahu raja Siaw untuk berlayar ke Ternate. Mereka ingin menjalin kerjasama dengan V.O.C Belanda. Orang–orang Minahasa ini jelas bukan golongan Walian mereka adalah kepala-kepala Walak dan Kepala Walak Minahasa adalah dari golongan TONA'AS.

Perjanjian persahabatan Minahasa dengan Belanda terjadi tahun 1679, ketika itu Minahasa diwakili SUPIT, LONTOH, dan PAAT. Perjanjian persahabatan itu kemudian mengalami beberapa kali perubahan yang akhirnya menempatkan Minahasa sebagai penakluk Belanda. Antara tahun 1700 dan 1800, Belanda sudah berperan sebagai “Tuan Besar” di Minahasa. Mereka mengangkat seorang raja Minahasa dengan jabatan Komandan Kapiten URBANUS PULUWANG. selanjutnya dia disebut “BAPA ORANG MINAHASA”. Dia kemudian mengatur perdagangan beras serta pajak dan memecat Kepala walak antara lain LOHO (Tomohon ) AGUS KARINDA (Negeri Baru). Dia juga menyewa serdadu Kora-Kora Ternate untuk membakar Negeri Atep Kapataran di wilayah pemimpin Tondano, GERRIT WUISANG.

Pada tahun 1801, ada kapal perang yang menembaki benteng Belanda di Manado. Setelah diselidiki ternyata kapal perang tersebut milik Inggris. Mengetahui ada konflik antara belanda dan Inggris maka para Walak Minahasa meminta bantuan Inggris untuk mengusir Belanda. Dalam upaya mengusir Belanda, GERRIT WUISANG membeli senapan, mesiu, dan meriam dari Inggris. Memang orang Tondano sejak tahun 1760 sudah tidak mau lagi hadir dalam pertemuan-pertemuan dengan Belanda di Manado dan sejak residen DUR, orang Tondano paling keras melawan belanda juga tidak mengindahkan aturan-aturan mengenai pajak, wajib militer, dan sistim perdagangan beras yang dikembangkan pihak Belanda. Ketika Residen DUR digantikan Residen PREDIGER, maka orang Tondano mulai menyiapkan diri untuk berperang melawan belanda. Dipimpin TEWU (Touliang) dan MA’ALENGEN (Toulimambot), orang Tondano merasa yakin bahwa pemukiman mereka diatas air di muara tepi danau sulit diserang belanda, tidak seperti pemukiman walak-walak Minahasa lainnya.

Pada tahun 1806, benteng Moraya di Minawanua mulai diperkuat dengan pertahanan parit di darat dan pasukan dengan kekuatan 2000 perahu di tepi danau. Pemimpin Tondano mengikat perjanjian denga walak-walak Tombulu, Tonsea, Tontemboan, dan Pasan-Ratahan untuk mengirmkan pasukan dan bahan makanan. Pemimpin walak Minahasa lainnya yang membantu antara lain : ANDRIES LINTONG (Likupang), UMBOH atau OMBUK dan RONDONUWU (Kalabat) MANOPO dan SAMBUAGA (Tomohon), GERRIT OPATIA (Bantik), POLUWAKAN (Tanawangko), TUYU Kawangkoan), WALEWANGKO (Sonder), KEINCEM (Kiawa), TALUMEPA (Rumoong), MANAMPIRING (Tombasian), KALITO (Manado), KALALO (Kakas), MOKOLENGSANG (Ratahan) sementara pemimpin pasukan Tondano pada awal peperangan adalah KILAPOG, SARAPUNG dan KORENGKENG.

Bulan Mei 1808, Minahasa sudah melarang Belanda pergi ke pegunungan, tapi pada tanggal 6 Oktober, Belanda membawa pasukan besar yang terdiri dari serdadu dari Gorontalo, Sangihe, Tidore, Ternate, Jawa, dan Ambon mendirikan tenda-tenda di Tataaran. Tanggal 23 Oktober, Belanda mulai menembaki benteng Moraya Tondano denga meriam 6 pond. Namun, tidak mereka sangka bahwa akan ada perlawanan dari pihak Tondano. Bahkan, tenda-tenda Belanda di Tataaran mendapat kejutan setelah pasukan berani mati pimpinan RUMAPAR, WALALANGI, WALINTUKAN dan RUMAMBI menyerang di tengah malam. Pada bulan November, pimpinan utama Belanda PREDIGER terluka kepalanya akibat terkena tembakan di Tataaran. Dia kemudian digantikan wakilnya Letnan J. HERDER. Perang kemudian bertambah panas yang kemudian ditandai dengan perang darat dan perahu. Pada tahun 1809, pemimpin tondano mendatangkan perahu Kora-Kora dengan memotong logistik bahan makanan dari kakas ke Tondano. Pada tangal 14 April, pasukan JACOB KOROMPIS menyerang tenda-tenda Belanda di Koya. Serangan yang dilakukan malam hari itu, JACOB berhasil merebut amunisi dan senjata milik Belanda.

Tanggal 2 Juni 1809, Belanda melakukan perjanjian dengan kepala-kepala wala Minahsa lainnya. Kemudian pasukan –pasukan yang bukan orang Tondano muali meninggglakan Benteng Moraya karena bahan makanan muali berkurang. Dan yang tertinggal adalah pasukan dari Tomohon dan Kalabat.

Penulis L. Mangindaan dalam bukunya “oud tondano” terbitan tahun 1871 pada halaman 368-369 menulis bahwa setelah Benteng Moraya jadi sunyi, sudah tidak terdegar lagi teriakan-teriakan perang dan bunyi–bunyi letusan senjata. Lalu pada suatu malam, Belanda menyerang Benteng itu dan membakar rata dengan tanah. Serangan itu dilakukan pada malam hari tanggal 4 Agustus dan pagi 5 Agustus 1809. Dalam penyerangn tersebut, Belanda kemudian membumi hanguskan Benteng Morya Tondano. Pada bulan September 1909 (bundel Ternate nomor 1160, BELANDA BARU MENGETAHUI BAHWA PIMPINAN UTAMA DARI PERANG DI Tondano adalah TEWU (Touliang), LONTHO (Kamasi-Tomohon), MAMAHIT (Remboken), MATULANDI (Telap) dan THEODORUS LUMINGKEWAS (Touliang). Mereka adalah kepala-kepala walak yang disebut “Mayoor” atau TONA’AS perang.