Jumat, 17 Februari 2012

PERIODISASI SEJARAH SANGIHE

PERIODISASI SEJARAH SANGIHE
Alffian W.P. Walukow




BAB - I


CERITA GUMANSALANGI

Untuk mendalami kebudayaan sangihe, sebaiknya memahami sastera lisan sangihe, sastera lisan sangihe adalah salah satu bukti peninggalan kebudayaan sangihe masa lalu yang masih dilestarikan sampai saat ini. Dari beberapa sastera lisan sangihe yang paling melegenda adalah cerita Gumansalangi. Dari cerita tersebut kita dapat melihat keberadaan sangihe dari penduduk mula-mula sampai terbentuknya kerajaan-kerajaan yang menjadi dasar terbentuknya sebuah suku yang dinamakan suku sangihe. Kisah Gumansalangi sebagai penduduk mula-mula tergambar secara utuh dalam “Tamo” karena tamo telah menjiwai kelahiran sangiang konda sebagai ibu dari orang-orang sangihe. Cerita Gumansalangi dan pembentukan kerajaan sudah ditulis banyak orang meskipun hanya dalam tulisan-tulisan lepas, bukan dalam sebuah buku yang sangat lengkap.

Ada banyak tulisan yang dilengkapi dengan tahun kejadian, tetapi belum bisa diakui karena semua cerita tentang Gumansalangi, tidak pernah dibukukan dimasa lalu sehingga terjadi kesimpangsiuran. Mungkin cerita lengkap tentang Sangihe boleh ditelusuri di Belanda untuk mandapatkan kepastian yang lebih ilmiah dan dapat diakui oleh publik yang lebih luas.

Seperti pepatah mengatakan “tak ada rotan akarpun jadi”. Kita sebagai generasi baru tidak bisa lagi menunggu “pemerintah” untuk mendanai penelitian dan penulisan tentang sejarah dan kebudayaan sangihe secara komprehensip. Karena lebih banyak orang sangihe “ndak” mau peduli, dari pada yang terpanggil untuk berbuat menggali kekayaan budaya.

Tokoh Gumansalangi sudah diceritakan berabad-abad lamanya di kepulauan sangihe melalui cerita lisan dari generasi kegenerasi secara turun-temurun. Sejak masuknya bangsa Eropa, cerita Gumansalangi mulai ditulis oleh para budayawan, sejarahwan dan pemerhati sejarah dan kebudayaan sangihe lainnya dalam bentuk tulisan-tulisan lepas.

Cerita Gumansalangi pertama kali diterjemahkan Desember 1993 di Biola University – Los Angles. Kisah Gumansalangi terbaru ditulis oleh Kenneth R. Maryott, seorang berkebangsaan Amerika yang bekerja sebagai dosen bahasa Inggris di Philliphin dalam buku yang berjudul “Manga wĕkeng Asaļ ‘u Tau Sangihĕ “. Buku tersebut ditulis dalam tiga bahasa, yaitu bahasa Sangihe, bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, diterbitkan oleh “The Committee For The Promotion Of The Sangir Language, Davao - Phillphiness, 1995. Kenneth bertindak sebagai editor, berdasarkan penuturan dari Bapak Haremson E. Juda. Disamping itu terdapat juga cerita tentang Makaampo. Cerita Makaampo pertama kali ditulis dan dipublikasikan dengan judul “Bĕkeng Makaampo (The Story of Makaampo)” dari artikel journal “Majalah Bijdragen tot de taal,- Land – en Volkendkunde, Volume 113 (1957)

Cerita Gumansalangi berasal dari kepulauan Sangihe Talaud, yang diceritakan sebagai folklore atau cerita rakyat. (Folklore adalah unsure kebudayaan dari masa silam yang menuju ke ambang kepunahan). Banyak cerita yang berkembang di kepuluan sangihe tentang Gumansalangi tetapi intinya berkisah tentang penduduk sangihe pertama. Permasalahannya adalah Siapa dan dari mana asal Gumansalangi yang sebenar–benarnya. Sampai kapanpun tidak akan mungkin ditemukan kebenaran secarah ilmiah siapa Gumansalangi. Penyebabnya adalah belum ditemukan bukti melalui naskah kuno atau prasasti yang menulis atau memberikan gambaran tentang kehidupan Gumansalangi. Hal ini terjadi juga pada beberapa folklore lain di sulawesi utara seperti cerita Toar dan Lumimuut dari Minahasa, cerita Gumalangi dan isterinya Tendeduata penghuni pertama Bolaang Mongondow, cerita seperti ini tetap menjadi legenda.

Kenapa cerita Gumansalangi memiliki banyak bentuk, dari luar cerita maupun kesesuaiannya dengan sejarah Sangihe. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu: Cerita Gumansalangi merupakan sastera lisan, yang hanya diceritakan dari mulut ke mulut, keadaan ini memungkinkan terjadinya berbagai perubahan. Perubahan dapat terjadi berdasarkan siapa yang pertama mengisahkan, siapa yang mendengarkan, kepada siapa kisah itu diturunkan dan dilingkungan apa cerita itu dikembangkan.

Berdasarkan beberapa cerita yang berkembang dimasyarakat sangihe terdapat beberapa cerita berdasarkan tempat dimana cerita itu berkembang di antaranya; Cerita Gumansalangi versi Siau, Cerita Gumansalangi versi Talaud, Cerita Gumansalangi versi pulau Sangihe besar. Di kalangan orang sangihe sendiri terdapat beberapa bentuk, seperti versi cerita Gumansalangi dari orang-orang yan ada di bekas kerajaan Tabukan dan di luar kerajaan Tabukan. Diantara beberapa versi tersebut dapat dipaparkan beberapa versi yang memiliki perbedaan.

a. Versi pertama (versi Siau)
Gumansalangi adalah kulano pertama di Pulau Sangihe besar. Gumansalangi bersiteri Ondaasa yang disebut juga Sangiangkonda atau Kondawulaeng. Gumansalangi adalah Putera Mahkota dari kesultanan Cotabato, Mindanao Selatan akhir abad XII. Mereka diperintahkan untuk pergi ke timur oleh ayah Gumansalangi dengan maksud supaya mereka dapat mendirikan kerajaan baru. Berangkatlah mereka dengan menunggangi ular terbang sampai ke Pulau Marulung (pulau balut), kemudian keselatan menuju pulau Mandolokang (pulau Taghulandang) di pulau ini mereka tidak turun tetapi melanjutkan perjalanan ke pulau lain melewati pulau Siau dan turun di pulau Sangihe besar.

Dalam perjalanan, ikut pula saudara laki-laki dari Kondaasa bernama Pangeran Bawangunglare. Mereka lalu mendarat di pantai Saluhe. Dikemudian hari nama Saluhe berubah menjadi Saluhang dan kini menjadi Salurang.

Karena Gumansalangi adalah seorang bangsawan maka tempat tersebut dinamakan Saluhang yang berarti ”dielu-elukan” dan dipelihara supaya dia bertumbuh dengan baik dan subur. Sejak kedatangan Gumansalangi dan Kondaasa di saluhe, selalu saja terdengar gemuruh dan terlihat kilat yang datang dari gunung. Gumansalangi lalu diberikan gelar Medellu yg berarti Guntur dan Kondaasa diberikan gelar Mengkila yang berarti cahaya kilat. Gumansalangi dan Kondaasa memiliki dua orang putra bernama Melintangnusa dan Melikunusa.

Gumansalangi lalu mendirikan kerajaan pada tahun 1300. Wilayah kerajaannya sampai ke Malurung (Pulau Balut/Philliphina). Saudara laki-laki Kondaasa melanjutkan perjalanan ke kepulauan Talaud tepatnya di pulau Kabaruan. Sampai saat ini tempat yang pertama kali diinjak oleh Pangeran Bawangunglare, dinamakan Pangeran.

Gumansalangi menyerahkan waris raja kepada anaknya yang sulung Melintangnusa pada tahun 1350. Anak bungsu Melikunusa mengembara ke Mongondow dan memperisteri Menongsangiang putri raja Mongondow. Melikunusa meninggal di Mongondow sedangkan Melintangnusa meninggal di Philliphina pada tahun 1400. Sesudah wafatnya Malintangnusa, kerajaan terbagi dua yaitu kerajaan Utara bernama Sahabe atau Lumage dan kerajaan Selatan bernama Manuwo atau Salurang. (dari beberapa catatan lepas pemerhati sejarah sangihe).

b. Versi kedua
Terbentuknya kerajaan pertama Sangihe berakar dari cerita tentang Gumansalangi. Humansandulage beristeri Tendensehiwu dan memperanakan Datung Dellu. Datung Dellu bersiteri Hiwungelo dan memperanakan Gumansalangi. Gumansalangi, setelah mempersunting Ondaasa berlayar dari Molibagu melalui pulau Ruang, Tagulandang, Biaro, Siau terus ke Mindanao kemudian ke pulau Sangihe, mereka tiba di Kauhis lalu mendaki Gunung Sahendarumang dan berdiam disana sampai terbentuknya kerajaan Sangihe pertama bernama Tampungang Lawo pada tahun 1425. (Iverdikson Tinungki dalam tabloid Zona utara )

c. Versi ketiga
Gumansalangi adalah anak seorang raja dari sebuah kerajan kecil diwilayah Philiphina bagian selatan. Ibunya meninggal ketika Gumansalangi masih kecil. Raja kemudian menikah lagi dengan perempuan lain dan melahirkan seorang puteri. Pada suatu pesta sang puteri atas perintah ibunya mempengaruhi Raja dengan sebuah permintaan dan berkata ”harta kekayaan tak penting bagiku yang kuinginkan adalah agar Ayah dapat membunuh Gumansalangi. Permintaan ini dilakukan agar tahta kerajaan tidak jatuh ke tangan Gumansalangi.

Keinginan itu diketahui oleh Batahalawo dan Batahasulu atau Manderesulu orang sakti kerajaan pengikut Gumansalangi, mereka lalu meberitahukan rencana itu pada Gumansalangi. Batahalawo kemudian melemparkan ikat kepala (poporong) ke laut yang kemudian menjelmah menjadi Dumalombang atau ular naga besar. Dumalombang membawa terbang Gumansalangi dan tiba di Rane dan tebing Mênanawo lalu mengitari bukit Bowong Panamba, Dumêga dan Areng kambing. Setibanya di tempat yang baru, setiap malam Gumansalangi hanya mendengarkan suara burung pungguk atau Tanalawo, arti lain dari Tanalawo adalah Pulau Besar.

Pada suatu senja di gubuknya kedatangan seorang nenek yang memerlukan tempat berteduh. Malam berikutnya dia didatangi lagi seorang gadis cantik. Dua persitiwa membingungkan hati Gumansalangi. Disaat tenang terdengar suara yang berkata ambilah telur di pucuk pohon yang besar itu dan jangan sampai pecah. Ditebangnyalah pohon tersebut sampai mendapatkan sebutir telur. Telur itu kemudian pecah dalam perjalanan pulang, dari telur itu keluar seorang puteri cantik yang kemudian dikenal dengan nama Konda Wulaeng atau Sangiang Ondo Wasa (puteri perintang malam) putri khayangan. Mereka menikah lalu dinobatkan menjadi Kasili Mědělu dan Sangiang Měngkila yang berarti Putra Guntur dan Putri Kilat. Dinamai demikian karena pakaian sang putri berkilau seperti emas dan pertemuan mereka ditandai gemuruh dari langit. Cerita ini juga menjadi bagian dari lahirnya nama sangihe, dan menjadi inspirasi untuk pemotongan kue adat Tamo. (Toponimi,Cerita rakyat, dan data sejarah dari kawasan perbatasan Nusa Utara, Sub Dinas kebudayaan kab.Kepl. sangihe, 2006 )

d. Versi keempat
Tahun 1300, Pangeran Gumansalangi dibuang oleh orang tuanya dari Cotabato – Mindanao, jauh ke tengah hutan. Gumansalangi dibuang karena tabiatnya buruk. Di tengah hutan Gumansalangi menyadari kesalahannya sambil menangis-nangis dan tangisannya terdengar sampai kekayangan. Dia lalu ditolong oleh raja dari kayangan dengan mengirim putri bungsunya bernama konda ke bumi untuk menemui Gumansalangi dalam penyamaran sebagai seorang perempuan yang berpenyakit kulit.

Gumansalangi mengajak perempuan itu untuk tinggal bersamanya. Tapi beberapa hari kemudian sang putri menghilang karena kembali ke khayangan. Dua kali putri melakukan hal itu kepada Gumansalangi. Ketiga kalinya sang putri datang lagi dalam rupa putri cantik atas perintah ayahnya. Sejak saat itu mereka menjadi suami isteri.

Setelah menikah, atas perintah sang raja khayangan mereka disuruh keluar dari hutan tersebut. Kepergian mereka ditemani oleh kakak sang putri bernama Bawangung–Lareyang menjelmah menjadi seekor naga. Mereka berangkat ke timur dan sampai ke pulau Marulung (pulau balut sekarang) Ditempat ini mereka tidak turun karena tidak ada tanda seperti yang disampaikan oleh ayah mereka. Tanda-tanda tersebut adalah nampak kilat saling menyambar dan gemuruh. Perjalanan dilanjutkan melewati Pulau Mandalokang (Pulau taghulandang sekarang) mereka tidak menetap di sana karena tidak ada tanda dan terus ke pulau Karangetang di sana tidak juga terlihat tanda. Perjalanan dilanjutkan ke pulau Tampungang Lawo menuju ke gunung Sahendalumang. Di puncak gunung, mereka menemukan tanda berupa kilat dari atas dan gemuruh dari bawah. Berdasarkan titah sang ayah, menetaplah mereka di tempat itu. Gumansalangi diangkat menjadi raja dengan gelar Medellu yang berarti bagaikan gemuruh, sedangkan Putri Konda dijuluki Mengkila yang berarti putri kilat. Kerajaan itu bernama kerajaan Tampungan Lawo.

Tahta kerajaan kemudian diserahkan kepada anaknya yang sulung Melintangnusa tapi kemudian Melintangnusa pergi ke Mindanao dan menikah dengan putri Mindanao bernama Putri Hiabĕ anak dari raja tugis. Adiknya Melikunusa pergi ke daerah Bolaang Mongondow dan menikah dengan putri Mongondow bernama Menong Sangiang.

Tahta kerajaan dari Melintangnusa digantikan oleh anaknya Bulegalangi. (umber cerita dari Bapak H. Juda dalam buku “Manga wĕkeng Asaļ ‘u Tau Sangihĕ“).

Melihat penyampaian syair umum dalam berbagai sasalamate tamo yang diturunkan sejak masa lalu, memberikan gambaran tentang usaha Gumansalangi memecahkan masalah dan akhirnya mendapatkan apa yang diinginkan. Tentang telur pada pucuk tamo sudah dijadikan hiasan utama pada tamo masa lalu sbagai simbol kehidupan baru yang diamanatkan dalam kisah Konda Wulaeng. Jika pemaknaan filosofi Tamo adalah gambaran Gumansalangi dan konda wulaeng maka kemungkinan besar, dari beberapa versi cerita Gumansalangi di atas yang paling bersesuaian adalah versi ketiga.




BAB - II
SEJARAH PERKEMBANGAN MASYARAKAT SANGIHE


A. Arti nama sangihe
Sangihe adalah daerah kepulauan, yang dahulunya satu bagian dengan kepulauan Talaud dan Kepulauan Sitaro dalam sistem pemerintahan kabupaten. Saat ini Kepulauan Talaud dan Kepulauan Sitaro (siau, taghulandang,biaro) terpisah, dan membentuk pemerintahan kabupaten yuang baru.

Luas kepulauan sangihe adalah 2.263,95 km persegi (ensiklopedi nasional indonesia). Terletak antara 125,10⁰ sampai 127,12⁰ bujur timur dan 2,3⁰ lintang sampai 5,2⁰ lintang utara. Secara Geografis, kepulauan sangihe berbatasan, sebelah utara dengan perairan laut philliphina, sebelah selatan dengan selat talise-perairan laut minahasa,sebelah barat dengan laut maluku, sebelah timur dengan laut sulawesi. Sangihe merupakan daerah vulkanis karena berada pada jalur pegunungan sirkum pasifik yang menghubungkan jalur philiphina,ternate,tidore sulawesi utara dan sulawesi selatan. Hal ini dibuktikan dengan adanya gunug api seperti gunung awu di pulau sangihe,gunung karangetang di pulau siau,gunung ruang di pulau ruang taghulandang,gunung api bawah laut mahangetang. Sangihe dikenal sebagai sangir atau sanger oleh suku-suku lain di Sulawesi utara.

Kemungkinan besar penggunaan nama sangihe berhubungan dengan kata sangi’ berarti sumangi, sasangi, sasangitang, makahunsangi, mahunsangi, masangi, semua kata ini merujuk pada arti tangis dan sedih. (sangiress nederlands woordenboek met nederlands sangiress register, Mr. K. G. F. Steller-Ds. W. E. Aebersold). Kata Sangihe dapat dipilah dari dua kata yang diartikan secara harafiah yaitu: Sangidari kata sangiang yang berarti Putri Khayangan, Ihe atau uhe berarti Emas. (Toponimi, cerita rakyat dan data sejarah dari kawasan perbatasan nusa utara). Kata sangi’ dapat juga ditemukan sebagai nama tempat di pulau lapu-lapu kepulauan philliphiness, afrika dan india. (Encarta 2007). Pelaut Eropa menyebut daerah kepulauan Sangihe Talaud dengan nama Sanguin. Pelaut-pelaut china dalam satu ekspedisi yang dipimpin laksaman Ceng Ho menyebut daerah kepulauan sangihe dengan nama Shao San. (Iverdixon Tinungki, Tabloid Zona Utara). Dalam bahasa Tountembouan, kata Sangir berarti mengasah dengan menggunakan batu asah. Tempat untuk mengasah benda tajam disebut pasangiran.

Sampai saat ini belum ditemukan data secara pasti sejak kapan kata sangihe mulai digunakan sebagai nama kepulauan yang didalamnya hidup ethnis sangihe. Muhamad Yamin dalam buku Atlas Sejarah sudah menulis P. Sangih e sebagai daerah kekuasaan kesultanan Ternate sampai tahun 1677 sebelum diserahkan ke VOC. Dalam catatan-catatan lain mengatakan bahwa sangihe adalah Nusa Utara. Kepulauan Sangihe dan Talaud pernah menjadi wilayah konsentrasi pasukan Majapahit. Kedatangan pasukan kerajaan majapahit di utara Indonesia terutama di Kep. Talaud antara tahun 1350 sampai 1365. Masa ini dihitung sejak Hayam Wuruk berkuasa di kerajaan Majapahit dan mencapai kejayaan. Thn 1365 adalah tahun wafatnya Gajah Mada.

B. Penduduk Mula-Mula
Manusia Sangihe pertama berdasarkan Legenda dan cerita lisan, terdiri dari 4 jenis yaitu:
Manusia Apapuhang. Apapuhang adalah jenis manusia pertama dalam legenda Sangihe yang pernah hidup di pulau Sangihe. Mereka hidup dicabang pohon. Persebaran manusia apapuhang berada di Utaurano antara Mangehesê dan Bowongkalaeng. Disebuah lembah yang sekarang dikenal dengan nama balang apapuhang, kecamatan Tabukan Utara. Bentuk fisik Apapuhang, tubuhnya pendek, kerdil. Suku Apapuhang memiliki kerajaan di bawah bumi. Untuk dapat masuk di kerajaan Apapuhang harus melewati pintu gerbang yang berada tepat di belakang air terjun Apapuhang di Kampung Lenganeng (Wawancara dengan Bapak Radangkilat thn 1994) Semua benda di kerajaan Apapuhang terbuat dari emas.

Manusia Tampilê Batang, Hidup di akar pohon besar yang tumbang. Persebaran penduduk ini tidak diketahui.
Manusia Pêmpanggo (manusia jangkung) Tidak memiliki tempat tinggal tetap. Persebaran penduduk ini tidak diketahui.

Manusia Angsuang. Angsuang adalah raksasa dalam bahasa sangihe. Cerita tentang manusia ini menjadi Legenda di kampung-kampung yang berada di kaki gunung Awu. Angsuang adalah tokoh dalam legenda Gunung Awu, yang menceritakan proses terjadinya letusan gunung berapi.

C. Nenek moyang penduduk kepulauan Sangihe
Dr. Peter Beltwood dari Australian National University Departement of Prae-history bekerjasama dengan pihak permuseuman kantor pendidikan dan kebudayaan yang diwakili oleh Drs. I. Made Sutayasa pada bulan Juni sampai Juli 1974 telah mengadakan penggalian dikepulauan sangihe dan talaud. Dari hasil penggalian ditemukan taring dan gading hewan purba, gerabah bermotif, flakes, kerangka manusia purba (di goa Bowoleba Manalu). Temuan itu memberikan gambaran bahwa sudah ada kehidupan di kepulauan sangihe dan talaud sejak kurun waktu 5000 tahun silam. (Toponimi, cerita rakyat dan data sejarah dari kawasan perbatasan nusa utara)

Tim arkeologi nasional melalui balai arkeologi manado dalam laporan penelitian arkeologi, “kajian permukiman dan mata pencaharian hidup manusia masa lalu di kepulauan sangihe dan talaud sulawesi utara” mendapatkan hasil bahwa sudah sejak lama ada kehidupan di kepulauan Sangihe dan Talaud.

Robert C. Suggs dalam buku “Island Civilization of Polynesia”, ( John Rahasia “Penemuan Kembali Tagaroa“, 1975 ) mengungkap bahwa sejak ± 2000–1700 SM terjadi tekanan politis militer China dan Mongolia dari bagian utara daratan Asia yang mendesak penduduk di lembah Mekhong di daerah Yunnan (Viet Nam) untuk pindah. Penduduk yang tinggal di lembah Mekhong menjalani tiga macam situasi yaitu: Mereka yang lemah dan tunduk, dikuasai dan diasimilasikan di bawah peradaban, kebudayaan dan kekuasaan China–Mongolia. Mereka yang lemah tetapi mengadakan perlawanan, dihancurkan sampai ke akar-akarnya, sehingga tidak berbekas. Mereka yang tidak mau tunduk terpaksa meninggalkan daerah asalnya dan merantau keluar. Ke tepi laut China Selatan ke Philliphina, Nusantara, melalui Mikronesia dan Melanesia sampai ke kepulauan Hawaii, pulau Paskah, Selandia baru di Polynesia dan ada juga yang ke Madagaskar, Timur Afrika.

Periodisasi persebaran penduduk di China akibat masalah di atas dapat dikelompokan sebagai berikut ;

1. Continental riverine migrations, yaitu penyebaran di daerah daratan Asia disektar sungai mekhong

2. Coastal maritime migrations, yaitu penyebaran di daerah pesisir vietnam atau tepi laut cina selatan.

3. Insular Maritim migration, yaitu penyebaran antar pulau dalam wilayah kepulauan Taiwan, Jepang,Philliphines, Indonesia.

4. Insular oceanic maritime migrations, yaitu: penyebaran antar pulau sambil mengarungi samudera Nusantara dan ke Madagaskar.

Migrasi nenek moyang Nusantara terdiri dari dua tahapan yaitu :

Migrasi pertama tahun 1700 - 1500 sebelum Masehi dinamakan proto melayu. Migrasi ini membawa kebudayaan Batu baru/neolitikhum yang berpusat di Bascon hoabin Indo china. (kebudayaan kapak lonjong dan persegi). Yang termasuk keturunan proto melayu adalah: suku toraja dan dayak. Migrasi kedua tahun 700-300 SM dinamakan Deutro Melayu yang membawa kebudayaan logam. Kebudayaan ini berpusat di Dongson. Yang termasuk keturunan deutro melayu adalah suku Jawa dan Bugis.

Penduduk Sangihe dan Talaud termasuk ras Melayu Polynesia. Asal perpindahan mereka dari Utara Mindanao dan lainnya berasal dari Ternate. Suku bangsa Sangihe dan Talaud termasuk suku bangsa Polynesia dan sebagian besar termasuk dalam suku Austronesia (Prof. J. C. van Erde, dalam catatan tentang kebudayaan Sangihe-Talaud, Gideon Makamea,2008 ).

Penduduk Sangihe, tidak dapat ditentukan dengan pasti asalnya. Diperkirakan mereka berasal dari Philliphina dan Sulawesi Utara. hal ini didasarkan dari bahasa yang ada di Sangihe dan Talaud, Philliphina dan Minahasa memiliki banyak kesamaan. (Breuwer 1918;771, dalam catatan tentang kebudayaan Sangihe-Talaud, Gideon Makamea, 2008) Penduduk sangihe sendiri beranggapan bahwa nenek moyang mereka berasal dari utara.

Untuk mengetahui siapa nenek moyang pendatang dan siapa nenek moyang penduduk asli dapat dilihat melalui beberapa ras dunia yg akan menunjukan keberadaan nenek moyang suku sangihe. Ras Kaukasoid terdiri dari, Nordik (Eropa utara/ Jerman), Alpin (sebagian besar bangsa Eropa), Mediterania (Timur tengah /Arab), Indic (India). Ras Mongoloid terdiri dari, Asiatik Mongoloid (China, Jepang, Korea), Malayan mongoloid (Melayu), American Mongoloid (Indian). Ras Negroid terdiri dari, African Negroid (negro Afrika), Negrito (penduduk Asli Philiphina). Ras khusus seperti; Australoid/penduduk asli Australia, Polynesia/bangsa Pasifik, Melanesia/Papua pasifik, Micronesia/Pasifik, Ainu/penduduk asli Jepang, Dravida/penduduk asli India, Bushman/Afrika selatan.

Bangsa Melayu terdiri dari 4 Suku bangsa yaitu: Malaysia, Indonesia, Orang negrito, dan Papua (Encarta 2005). Dapatlah disimpulkan bahwa penduduk Sangihe asli ditinjau dari etnik, dan legenda, bukanlah orang Indonesia tetapi merupakan bagian dari suku bangsa negrito. Karakter fisik ras Negrito adalah: mata tidak sipit, warna kulit gelap kehitaman, postur tubuh tinggi rata-rata 130 cm.

Sebelum terjadi migrasi besar-besaran dari daratan china, di Nusantara sudah ada penduduk yaitu: Wedoid dan Negrito. Sisa-sisa suku wedoid adalah: suku Sakai di siak, suku kubu di jambi, suku lubu di palembang. Sisa-sisa suku negrito sudah punah. Ras Negroid termasuk juga sub ras africa negroid (Negro Afrika) dan negrito penduduk asli Philliphina. Negrito adalah nama yang diberikan oleh orang-orang Eropa untuk membedakannya dengan Negro Afrika.

Karakter fisik penduduk sangihe ditinjau dari asalnya terdiri dari ;

1. Sama dengan penduduk dari persebaran migrasi china, penduduk asli Sangihe termasuk dalam Ras Malayan Mongoloid atau keturunann proto melayu jalur selatan.

2. Penduduk sangihe dipandang dari sisi Legenda berarti penduduk Sangihe pertama berasal dari philipina. Penduduk asli philipina seperti suku aeta, agta termasuk dalam ras khusus dunia yaitu Ras Negrito.

Berdasarkan cerita lisan yang sudah terwaris turun temurun bahwa nenek moyang orang sangihe adalah Gumansalangi. Gumansalangi diberikan gelar Kasili Medellu ( pangeran guntur ) dan Konda asa bergelar Sangiang Mengkila atau Konda wulaeng yang berarti putri cahaya.




BAB - III
PENINGGALAN KEBUDAYAAN PRA SEJARAH

Kebudayaan adalah komplikasi (jalinan) dalam keseluruhan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keagamaan, hukum, adat istiadat, serta lain-lain kenyataan dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan adalah salah satu ciri yang membedakan antara manusia dengan binatang. Kebudayaan sangihe memiliki semua unsur-unsur kebudayaan yang ada.

Terhitung sejak mithology tagharoa, maka kebudayaan Sangihe purba dimulai sejak tahun 3000 sebelum masehi dan berakhir sesudah saman logam (nusantara). Mithologi tagharoa adalah mithology Pasifik. Sebagian peninggalan saman purba dari saman batu masih dapat dilihat di kepl, sangihe.

Secara tipologi peninggalan bersejarah di sangihe, membuktikan bahwa benda-benda tersebut memang berasal dari saman purba, meskipun sampai saat ini belum diketahui secara jelas tentang fungsi dan umur dari benda tersebut. (Tipologi adalah suatu cara untuk menentukan umur benda budaya berdasarkan bentuknya. Makin sederhana benda budaya makin tua umurnya )

Gong dalam bahasa sangihe adalah Nanaungan. Berfungsi sebagai musik pengiring upacara keagamaan dari saman logam.



BAB - IV
KEHIDUPAN BERAGAMA DAN KEPERCAYAAN SUKU SANGIHE

Kehidupan beragama pada dasarnya merupakan kepercayaan terhadap keyakinan adanya kekuatan gaib, luar biasa atau supranatural yang berpengaruh terhadap kehidupan individu dan masyarakat, bahkan terhadap segala gejala alam. Mempercayai sesuatu sebagai yang suci atau sakral adalah ciri khas kehidupan beragama.(Busstanudin Agus, Agama dalam kehidupan manusia, 50, 2005).

Manusia beragama karena beberapa hal yaitu; Tidak mampu mengatasai bencana alam, tidak mampu melestarikan sumber daya dan keharmonisan alam, tidak mampu mengatur tindakan manusia untuk dapat hidup damai satu sama lain dalam masyarakat. (Evans-Pritchard, dalam Busstanudin Agus, Agama dalam kehidupan manusia, 50, 2005)

Kepercayaan ialah sistem keyakinan yang dianut oleh seseorang atau masyarakat dan menjadi dasar orientasi dan prilakunya. Unsur yang biasanya terkandung dalam kepercayaan ialah: mithos, ketuhanan, manusia, alam semesta, doa, mistisisme, magi dan tujuan kehidupan. (D.J. Walandungo, Tesis, Islam Tua Terpasung dan Merana, 2002).

A. Masa Sundeng
Jauh sebelum terbentuknya kerajaan pertama, suku sangihe sudah menganut sistem kepercayaan. Kepercayaan yang dianut suku sangihe dimasa lalu tidak dapat dipastikan seperti apa. D. Brillman dalam bukunya Onze zending velden De zending op de sangi-en Talaud – eilanden menjelaskan bahwa sampai abad ke-16 terdapat sistem kepercayaan yang disebut “ kepercayaan mana “. Mana adalah kekuatan yang menonjol, yang menyimpang dari kekuatan yang biasa, kekuatan ini hadir secara gaib di mana-mana (sakti). Pendapat umum, mengatakan bahwa kepercayaan suku sangihe dikelompokan sebagai kepercayaan animisme. Animisme adalah suatu kepercayaan mengenal adanya roh-roh dan mahluk-mahluk halus yang mendiami seluruh alam semesta. Selain pendapat di atas, suku sangihe dimasa lalu juga menganut fetis atau pemujaan terhadap benda-benda alam maupun buatan manusia yang diisi dengan kekuatan gaib, jika benar fetis, berarti agama sangihe purba juga beraliran dinamisme. (Dr. Harun Hadiwijono, Religi suku murba di Indonesia,2006)

Beberapa pendapat tentang kepercayaan sangihe dapat dilihat melalui aktifitas keagamaan masa lalu. Masyarakat sangihe mengenal beberapa ritual keagamaan seperti ritual měsundeng. Sundeng bukan hanya sekedar ritual keagamaan tetapi sebagai sebuah komunitas yang di dalamnya terdapat suatu kehidupan budaya dan sistem kemasyarakatan yang memiliki hubungan dengan sebuah kekuatan yang dianggap lebih berkuasa dari komunitas tersebut.

Komunitas ini mengatur adanya pemimpin agama yang disebut Ampuang. Ampuang bertindak sebagai orang yang berkedudukan tertinggi dalam komunitasnya. Dalam menjalankan aktifitasnya ampuang dibantu oleh para tatanging dan para bihing. Penetapan kedudukan dalam komunitas sundeng dilakukan melalui proses pemuridan atau bawihingang.

Kegiatan utama ritual měsundeng adalah menalě atau mempersembahkan sesaji. Pada awalnya pemberian sesajen dilakukan dalam bentuk pengorbanan yang mengorbankan manusia kepada penguasa alam. Ritual sundeng tidak dilaksanakan ditiap kampung tetapi dilaksanakan dalam suatu pusat penyembahan yang disebut penanaruang. Terdapat tempat pelaksanaan ritual sundeng yaitu di manganitu, pananaru, pulau mahumu dan beberapa tempat lain. Pusat penyembahan terbesar terdapat di kampung Pananaru kecamatan Tamako. Pelaksanaan ritual sundeng dihadiri oleh perutusan komunitas sundeng terkecil dari tiap kampung. Tidak semua komunitas sundeng memiliki ampuang ataupun tatanging, kebanyakan dari komunitas kecil hanya memiliki seorang bihing.

Secara garis besar, tata cara pelaksanaan kegiatan menalě dimulai dari berkumpulnya para anggota komunitas sundeng melalui perutusannya. Duduk melingkar berdasarkan kedudukan dan peran dalam kegiatan penyembahan. Mempersiapkan seseorang yang akan dikorbankan. Meminta petunjuk dari penguasa alam. Setelah direstui ditikamlah satu orang yang sudah dipersiapkan dengan alat yang bernama kenang. Diyakini jiwa sang korban menuju tempat lain. Berpindahnya jiwa korban diantar melalui prosesi budaya seperti tari lide’, bunyi-bunyian alat musik oli’ disertai tagonggong dan nanaungang. Setelah semua kegiatan selesai, semua peserta makan bersama.

Komunitas sundeng meyakini adanya kekuatan yang melebihi kekuatan mereka, untuk itu mereka mempersembahkan korban sebagai bentuk hubungan antara manusia dan sang penguasa alam. Kekuatan yang melebihi kekuatan manusia dalam komunitas sundeng berupa kekuatan tidak terlihat atau roh. Kekuatan tersebut terdiri dari tiga unsur roh yang dibedakan dari orang-orang yang menyembahnya yaitu Ghenggonalangi, Aditinggi dan Mawendo. Ghenggonalangi adalah kekuatan yang berkedudukan setinggi langit yang menguasai seluruh bumi. Aditinggi adalah kekuatan yang berkedudukan di daratan tertinggi, yang disembah oleh orang –orang di perbukitan. Mawendo adalah kekuatan yang berkedudukan di laut yang disembah oleh orang-orang di laut dan di pesisir pantai.

Pada saat ritual sundeng masih dijalankan dalam sebuah komunitas sundeng maka muncullah sebuah ritual yang disebut mědaroro. Inti dari ritual ini adalah mencari dan menemukan petunjuk dari roh leluhur yang sudah mati. Ritual inilah yang ditafsir oleh D. Brillman dalam buku (Kabar baik dari bibir pasifik, terjemahan) sebagai agama orang sangihe. Ritual medaroro masih dilaksanakan di pananaru sampai tahun 1976 (wawancara dengan tua kampung pananaru, thn 2007), di Manganitu sampai tahun 1960-an (wawancara dengan bpk. Garing, bapak Ulis).

Konsep dan tata cara pelaksanaan ritual medaroro masih diadaptasi dari ritual sundeng termasuk lokasinya. Dikemudian hari lokasi pelaksanaan medaroro sudah dilaksanakan di kampung-kampung dalam komunitas kecil yang dulunya adalah komunitas kecil sundeng. Yang membedakan antara sundeng dengan medaroro adalah persembahan korban tidak lagi menggunakan manusia tetapi menggunakan babi. (wawancara dengan tua kampung, Nahepese, Bengka, Karatung, Kauhis, 2001–2007). Digantinnya korban manusia dengan babi, dimulai pada saat masuknya bangsa eropa di kepulauan sangihe. Pada akhirnya persembahan korban dalam ritual medaroro diganti dengan persembahan sesajen nasi kuning dengan lauknya. (wawancara dengan bpk. G. Makamea, 2007). Makna kekuatan yang disembah dalam ritual medaroro tidak lagi kepada Ghenggonalangi, aditinggi dan mawendo tetapi kepada Himukudě. Selain ritual sundeng dan medaroro masih ada ritual lain yang pernah dilakukan masyarakat sangihe dimasa lalu seperti ritual menahulending banua, menondo sakaeng, mendangeng sake, melanise tembonang, menaka batu, dan lain-lain.

Ritual menaka batu (menutup kubur dengan batu) adalah ritual purba yang berhubungan dengan peristiwa kematian, ritual ini dilakukan beberapa saat setelah penguburan jenasah. Berdasarkan temuan, batu penutup kubur ini diambil dari tempat yang sangat jauh dari tempat penguburan karena lokasi pekuburan tua ini berada di atas bukit. Dilihat dari bentuk bangunan, dapat diidentifikasi bahwa kuburan yang menggunakan tutup batu, dibuat pada saman Batu besar.

Tutup batu kubur ini menyerupai dolmen.Ukuran batu mulai dari 50 x 50 cm sampai 100 x 250 cm dengan ketebalan 5 – 25 cm. Berat batu berfariasi dari 50 kg sampai 700 kg. Pada bagian bawah terdapat 4 sampai 5 tiang batu setinggi 40 cm dari atas tanah.Ritual menaka batu menunjukan status sosial masyarakat. Kuburan yang memiliki penutup batu paling besar berasal dari kalangan atas sedangkan kuburan yang memiliki penutup batu kecil dari kalangan bawah.Berdasarkan penuturan dari tua-tua kampung pananaru dan lapango, untuk mengangkat batu ukuran besar memerlukan tenaga sebanyak 50 sampai 100 orang yang dilakukan secara estafet.Diatas batu, duduk seorang pemimpin yang memberikan perintah.Setibanya di pekuburan ada seorang tua-tua adat yang sedang memainkan musik Tagonggong, pada saat batu penutup kubur mulai diangkat keatas bukit, sering terjadi perkelahian. Setelah prosesi menaka batu selesai, diadakanlah pesta dalam bentuk meberi makan seluruh pekerja. Situs kuburan tua sangihe yang memiliki konstruksi yang sama, menggunakan penutup batu besar terdapat di pantai pananualeng, pananaru, pangalemang, bawuniang lapango.

Konsepsi masa lalu tentang keragaman budaya terbawa jauh sehingga menemui suatu perubahan dengan munculnya upacara Tulude. Upacara ini dilaksanakan setahun sekali sabagai upaya mensyukuri keberadaan ditahun yang sudah dilalui dan menolak bala ditahun yang baru. Pada upacara ini ditampilkan semua bentuk hasil kebudayaan sangihe. Tulude merupakan upacara adat terbesar.

Filosofi utama dari tulude terletak pada tamo, dimana seluruh lapisan masyarakat dapat hadir tanpa harus diundang. Pada kegiatan ini tampak nilai kebersamaan antara pemerintah dan masyarakat, antara masyarakat yang satu dengan lainnya dengan tidak membedakan status dan kedudukannya dalam kehidupan bermasyarakat.

B. Masuk dan berkembangnya agama luar di kepulauan sangihe.

a. Agama Islam
Islam merupakan agama luar pertama yang masuk dan berkembang di kepulauan sangihe. Sebelum agama Islam berkembang lebih luas di sangihe, sudah lahir sebuah komunitas kehidupan beragama menyerupai islam yang disebut Islam tua atau kaum tua. Aktifitas keagamaan komunitas ini masih mempercayai dan mengikuti kebiasaan penganut islam Alquran, seperti melakukan puasa, melakukan sholat berjamaah, merayakan beberapa hari keagamaan Islam berdasarkan islam quran. Komunitas keagamaan ini tidak memiliki kitab suci sebagaimana agama Islam Al-quran. Mereka meyakini bahwa ajaran islam tua disebarkan pertama kali oleh seseorang yg kemudian disebut sebagai Mawu Masade. (penjelasan beberapa umat islam tua 2003). Salah satu ajaran leluhur yang mereka anggap patut di jaga adalah: umat tidak perlu sekolah tinggi, karena kalau sekolah tinggi dapat mengotori tingkat keimanan mereka kepada Tuhan Yang Maha Esa (wawancara dengan bpk. Manto Kirimang, 2007)

Masade adalah seorang anak berumur 7 tahun yang ditemukan di kerajaan Tabukan pada masa pemerintahan Raja Dalero. Pada saat itu terjadi perang antara kerajaan tabukan dan kerajaan islam Lumaugě. Penyebab perang bukan masalah agama tetapi dendam kepada sultan sibori darikternate yang membawa lari Maimuna putri raja Dalero. (Sultan sibori sering berkunjung ke kerajaan\ Lumauge). Pada saat terjadi perang,masade bersembunyi didalam perahu yang tertutup ditanah. Dia ditemukan dan dibesarkan oleh Manakabe. Masade mempelajari agama Islam di Ternate dan Mindanao lalu kemudian menyebarkannya ke sangihe. Masade meninggal dan dimakamkan di Tubis, Philliphina, beberapa waktu setelah perjalanannya ke Ternate,Mongondow,dan Mekah.

Ajaran Masade diteruskan oleh muridnya yang bernama Penanging. Penanging melakukan pemuridan kepada tiga orang yaitu Makung, Hadung dan Biangkati. Ajaran tiga murid penanging inilah yang melahirkan tiga aliran ajaran dalam Islam Tua. Tempat ibadah komunitas keagamaan ini dinamakan mesjid, alat yang digunakan untuk memanggil orang beribadah menggunakan lonceng. Shalat berjamaah dilaksanakan tiap hari Jumat. Ajaran utama mereka berasal dari imam. Ada kemungkinan lahirnya komunitas keagamaan islam tua merupakan kegagalan dari dakwah islam Syi,ah.

Disaat agama islam tua sedang mengalami tekanan dari berbagai pihak terutama tekanan dari negara sendiri, muncul seorang penyelamat yaitu Pendeta Don Javirius Walandungo. Melalui sebuah tesis dengan judul “Islam Tua Terpasung dan merana” telah membuka mata pemerintah untuk menyelamatkan agama ini dari tekanan saudara-saudaranya.

Sampai saat ini tidak ada bukti yang dapat menguatkan tetang kapan masuknya ajaran islam mula-mula di kepulauan sangihe. Secara umum, ajaran islam masuk ke Indonesia oleh beberapa ahli berasal dari India, Coromandel, Arabia, Mesir, China dan Persia. Diperkirakan ajaran yang masuk ke sangihe melalui philliphina dan ternate.

Ajaran Islam masuk dan berkembang disangihe dilihat dari dua kemungkinan.

Pertama, masuk melalui Philliphina awal tahun 1400 oleh pedagang dan pelaut china yang melalui jalur pelayaran laut. Persebaran islam ini dilakukan melalui pelayaran yang dilakukan jugaoleh pelaut china, Cheng Ho dalam kunjungannya di pulau Sulu. Masuknya ajaran islam dari philliphina juga dipengaruhi oleh hubungan dagang yang dilakukan oleh muslim cina maupun muslim moro,mindanao.

Kedua, masuknya ajaran islam dari Ternate diperkirakan pada abad ke 14, karena pada saat itu islam sudah tersebar diseluruh ternate. Sultan ternate yang benar – benar sudah memeluk agama islam adalah Sultan Zainal Abidin (memerintah sebagai sultan thn 1486-1500),Zainal Abidin belajar islam dari Sunan Giri. Pada masa pemerintahan sultan Baabullah anak dari Sultan Hairun (1570-1583) kesultanan ternate mencapai kejayaan. Wilayah kekuasaannya sampai ke Philliphina. Orang pertama yang menyebarkan agama islam AlQuran disangihe adalah Imam Penanging yang kemudian dianggap oleh penganut Islam tua sebagai murid dari Masade ( wawancara dengan bapak Gabriel, kepala MI Petta )

Menurut tradisi lisan sangihe, agama islam pertama kali diperkenalkan di Tabukan oleh seorangarab bernama Syarief Maulana Moe’min pada abad ke 15 dan mendapatkan pengaruh pertama terhadap raja kerajaan Lumauge. ( Suwondo,1978 dalam D.J.Walandungo, Islam tua terpasung dan merana ). Kerajaan lumauge berpusat di sebuah bukit di belakang moronge. Kerajaan ini adalah satu-satunya kerajaan islam di sangihe yang merupakan bagian dari kekuasaan kerajaan Tabukan.

Pada abad ke 19 datanglah seorang imam dari pontianak yang mengajarkan ajaran Islam. Imam tersebut dijuluki “Imam Pontiana”. Sesudah imam “pontiana” dipulangkan oleh pemerintah Kerajaan Tabukan ke pontianak, muncul lagi seorang pengajar agama islam dari tabukan bernama Walanda yang sebelumnya pernah berguru pada Tamieng. Walanda memperdalam ilmu Islam di mongondow,setelah kembali ke sangihe ia membuka pengajian di tabukan. Pertengahan abad ke 19, raja Kumuku (Hendrik David Paparang) mempelajari agama Islam di Ternate. Sekembalinya di Sangihe, dia membawa seorang anak bernama Moedin Baud. (catatan laporan kunjungan Gubernur jendral di kerajaan Tabukan, 1927)

Pada masa pemerintahan Presidentsi raja Cornelis Siri Darea tahun 1886, agama islam di Kerajan Tabukan mendapat tekanan. Kapiten laut Hadiman Makaminan dan Maloehenggehe Paparang dihukum karena berguru ajaran islam pada Husein (orang Gorontalo). Orang-orang yang masih memeluk agama Islam di Tabukan diungsikan ke Tahuna dan membentuk komunitas baru kampung islam Tidore. Pengungsian dipimpin oleh Abdoel Latief. Di bowondego/lenganeng mereka menangis sambil mengucapkan doa Ya Allah Tuhan yang rahman, PadaMulah tempat berlindung, Sertailah berkat, teguhkanlah iman, Peliharalah hambamu diperasingan. Diantara para pengungsi terdapatlah seorang yang bijak bernama Ontameng Kakomba yang kemudian menjadi guru agama Islam di Tahuna.

Di masa pemerintahan raja Tahuan, Dumalang, islam mendapat tekanan. 15 orang penganjur Islam diasingkan diluar Sulawesi.Atas pertolongan Controleur Hoeke beberapa tahun kemudian dibangunlah sebuah mesjid di Sawang. Dimasa pemerintahan Raja D. Sarapil 1898 umat islam dalam pembuangan Tahuna, diijinkan pulang ke Tabukan dan membangun mesjid di Moronge dan Peta.

Tahun 1915 datanglah seorang Ambon bernama Marasa Besi mengajarkan ilmu sihir bertopeng agama Islam. Tahun 1919 Sarikat Islam terbentuk di Tabukan, organisasi ini bubar pada tahun 1921. Karena kesalah pahaman, pemimpin Sarikat Islam J.G. Janis dihukum, sampai meninggal dan dikuburkan di Surabaya. Pada masa pemerintahan raja W.A. Sarapil tahun 1925, kehidupan beragama di kerajaan tabukan menjadi baik. (disarikan oleh Bombaran Makaminan dalam catatan laporan kunjungan Gubernur jendral di kerajaan Tabukan, 1927 )

Satu-satunya kerajaan Islam di Sangihe adalah Kerajaan Lumauge yang berpusat di Moronge, dibawah kekuasaan Kerajaan Tabukan. Kerajaan lain di sangihe yang mendapat sentuhan islam adalah kerajaan Kendahe. Raja kerajaan kendahe pertama adalah anak Sultan Achmad dari philiphina, memerintah thn 1600–1640. Raja Tabukan yang beragama islam adalah raja Gadma. ”Utusan raja Gadma menegaskan kepada pemerintah spanyol di manila bahwa mereka rela meninggalkan agama islam dan memeluk agama kristen” (Meersman 1967 dalam D. J. Walandungo, Islam tua terpasung dan merana).

C. Agama Kristen.

Misi Khatolik Portugis pertama yang tiba di Maluku adalah beberapa rahib Franciscan yang mendarat di Ternate tahun 1522,kemudian berkembang pesat sampai tahun 1570, di ambon lease, bacan, halmahera – morotai, ternate-tidore, Banggai, Manado dan Sangihe. Hal ini terlaksana atas usaha dari Misionaris Jesuit, Franciscus Xaverius sejak tahun 1546 selama 15 bulan penginjilan. Sesudah tahun 1570 Misi Roma khatolik mulai mengalami kemunduran akibat dari, dibunuhnya Sultan Hairun oleh Portugis.

Tahun 1563, pater Diego de Magelhaes membaptis “raja Manado” dan raja Siau Possuma. Thn. 1566 raja Siau yang baru kembali dari pengungsian ditemani oleh misionaris dari Ternate Pater Mascarenhas. Akhir bulan september 1568 raja Kolongan meminta rohaniawan di siau untuk menerimanya menjadi Kristen. Tgl. 5 Oktober 1568, Pater Mascarenhas tiba di pulau sangihe, mengajar selanjutnya membaptis dan menikahkan beberapa bangsawan di kerajaan kolongan. Tahun 1563 adalah awal sentuhan Khatolik di Siau.

Perkembangan protestan di pulau sangihe dapat diperiodisasikan berdasarkan buku Wilayah-wilayah zending kita, Zending dikepulauan sangi dan talaud, sebagai berikut:

1. Masa awal protestan (masa VOC)

Penyebaran protestant calvinis dimulai sejak Spanyol menarik diri dari Sangihe, setelah VOC merebut Tahuna pada tahun 1666. Pendeta mula-mula adalah Ds. Pregrinus (1677) dan Ds. Cornelis de Leeuw, sebagai pendeta pertama yang berkhotbah dalam bahasa Sangihe (1680-1689).

Penyebaran agama kristen protestan mula-mula dilakukan oleh para pendeta pegawai VOC. Tahun 1675 Pendeta J. Montanus mendapati bahwa jemaat-jemaat di Manado sudah sangat lemah. Tahun 1677 VOC menetapkan Pendeta Zacharias Cacheing di Manado. Sampai tahun 1700 tidak banyak lagi pendeta yang mau datang ke Indonesia. Kekristenan pada masa VOC terjadi bukan karena keimanan tetapi karena tekanan politik. (Prof. Dr. I. H. Enklaar. Sejarah gereja ringkas, 81, 1966)

Tahun 1674-1675 adalah masa awal sentuhan protestan di pulau sangihe. Pada masa itu Pendeta Franciscus Dionysius dan Pendeta Ishacus Huysman berkunjung ke pulau sangihe,kemudian sakit lalu meninggal dan dikuburkan ditepi pantai, jalan menuju ke angges. Thn.1676 sangihe dikunjungi oleh Pendeta. J.Montanus dan Pendeta Peregrinus. Tahun 1770–1853 Pendeta Josep Kam Bertugas di Maluku dan dijuluki Rasul Maluku, pendeta ini sering melakukan kunjungan ke sangihe. Pendeta terakhir yang berkunjung ke pulau sangihe semasa VOC adalah Pendeta J. R. Adams pada tahun 1789. 31 Desember 1799 VOC dibubarkan, sejak bubarnya VOC tidak ada lagi pelayanan rohani

2. Masa NZG (Nederlandsch Zendeling Genootschap ) Perserikatan Pekabaran Injil Belanda

Van der Kamp mendirikan NZG Tahun 1797. Tahun 1817 Pendeta Josep Kam berkunjung ke Minahasa. Tahun 1819 Lenting berkunjung ke Minahasa.Pendeta Josep Kam dan Ds. Lenting mendapati orang Kristen tidak ada pelayanan lagi,lalu mereka melaporkan keadaan itu pada NZG di Belanda. Pada tahun 1822 atas laporan diatas maka NZG mengirim 2 orang berkebangsaan Swiss, L.Lamers di Kema ( meninggal 1824 di Kema ) W. Muller di Manado (meninggal 1827 di Manado) Mereka meninggal karena penyakit Typus.Dalam pelayanan, mereka mengalamai banyak hambatan dan tantangan terutama dari kalangan turunan Eropa.Tahun 1827 pelayanan manado diganti oleh Ds. G. J. Helendoorn. 4 tahun kemudian tahun 1831 dikirim lagi 2 Orang pelayan yaitu : Johann Friedrich Riedel dan Johann GottliebSchwars.

Tahun 1855, NZG mengutus S.D. van der Velde van Capellen dari Minahasa ke sangihe dan membaptis 5033 orang.Ketika itu S.D. van der Velde van Capellen sedang bertugas di Tareran,Minahasa. Atas kujungan tersebut dilaporkanlah keadaan jemaat kristen sangihe yang terlantar kepada NZG. Oleh menteri Jajahan, diberikan jawaban bahwa akan diutus empat orang Zendeling-werklieden atau zendeling tukang. S.D. van der Velde van Capellen kembali lagi ke tempat tugas di minahasa sampai akhir hidup dan dikuburkan di lansot tareran tahun 1856.

3. Masa Zendeling – werklieden ( zendeling tukang atau utusan tukangdalam perhimpunan “Pendeta tukang)

Komisi Zendeling tukang memulai pekerjaannya di Amsterdam tahun 1851 dan mengutus pekerja injil di Indonesia. Komisi telah mengutus sembilan orang ke pulau sangihe dan talaud untuk melakukan penginjilan. Usaha penginjilan ini dilakukan atas beberapa latar belakang diantaranya:

- Kurang lebih 200 tahun pemeliharaan injil di sangihe terlantar.
- Laporan Pdt. S.D. van Der Velde van Capellen tahun 1855 tentang kemerosotan iman jemaat di Sangihe.

Karena kekurangan tenaga di Belanda, Komisi zendeling tukang mengambil beberapa utusan dari Jerman. Mereka yang diutus adalah : Carl W.L.M Schroder, E.T.Steller, F. Kelling dan A.Grohe. Kelling dan Grohe ke pulau Siau mereka tiba di Taghulandang 15 Juli 1875. Steller dan Schroder tiba di Manganitu 25 Juni 1857. Pengutusan zendeling tukang berakhir tahun 1858.

4. Masa Komite Sangihe dan Talaud (didirikan tahun 1887)

Pada masa ini tanggungjawab pemeliharaan iman di pulau sangihe dan talaud ditangani oleh Komite Sangihe dan Talaud. Komite ini didirikan di Belanda atas kerja sama dengan beberapa badan penginjilan. Komite hanya bertanggung jawab membiayai perjalanan utusan injil sampai di Batavia, sesudah itu diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda melalui badan penginjilan yang ada di Manado. Utusan injil yang datang di sangihe dan talaud diambil dari beberapa badan penginjilan.

Utusan injil baru tiba di Sangihe tahun 1888. Mereka yang diutus adalah : M. Kelling,W.T.Vonk, J.C.G.Ottow. Tahun 1891, siau menerima pekerja injil baru yaitu : A.J. Swanborn,pada saat yang sama G.F. Schroder pindah dari talaud di pulau sangihe, dan Mr.K.G.F. Steller tiba di Manganitu 31 mei 1899. Pada tanggal 1 Juli 1904 pelayanan injil di serahkan lagi pada komite untuk pemeliharaan kebutuhan rohani jemaat kristen protestan pribumi. Menjelang pertengahan tahun 1900, gereja kristen di sangihe menyatakan berdiri sendiri, tidak terikat lagi oleh gereja negara


BAB - V
SENI TARI DAN MUSIK SANGIHE

Penciptaan tari lahir sebagai bagian dari keperluan ritual atau upacara adat dan kegiatan sosio – kultural. Dalam tata kehidupan seperti itu rasa dan semangat kebersamaan menjadi titik sentral. (I Wayan Dibia,dkk. Tari Komunal,2006)

Tari berkembang atas kerja sama dan rangsangan yang didapat dari musik,seni rupa,sastera dan drama. Penciptaan tari tradisi sudah ada seiring dengan lajunya sejarah. Masing-masing khazana tari tersebut mengalami perubahan dan perkembangan. Satu sama lain dapat terjadi saling silang budaya atau saling mempengaruhi.( Sumaryono Endo Suanda, Tari Tontonan, 2006)

Di sangihe, tarian merupakan bagian dari kehidupan masyarakat, apakah itu untuk keperluan ritual ataupun pertunjukan. Dalam mengekspresikan tari, musik menjadi bagian didalamnya. Setiap bentuk tari mengalami perubahan dari waktu ke waktu berdasarkan perkembangannya.

Terdapat beberapa tari-tarian asli sangihe yang masih ada dan sedang dikembangkan yaitu, tari gunde,tari sese madunde,tari alabadiri,tari dangsang sahabe,tari bengko,tari salo,tari upase,tari tambor dan tarian ampa wayer.

Substansi (isi) dasar tari, adalah gerak tubuh, karena itu tari adalah perwujudan ekspresi secara personal. Tari lahir dari suatu sistim kebudayaan yang berlaku didaerah masing-masing merupakan bentuk komunikasi antar manusia yang lahir dari tatanan kehidupan. ( I wayan dibia,cs.Tari komunal,2006 ).

Tari dipertunjukan pada berbagai peristiwa, seperti yang berkaitan dengan upacara (ritual) dan pesta untuk merayakan kejadian-kejadian penting.Tari telah berperan penting dalam sistim sosial sejak zaman pra sejarah (Sumaryono, Endo Suanda,Tari tontonan, 2006)

A. MUSIK DAN TARI LIDE.
Penelitian tentang musik ini telah dilakukan oleh banyak ahli dan pemerhati lokal dan beberapa pakar etnomusikolog dari Indonesia maupun luar negeri. Mengolį adalah suatu kegiatan memainkan alat musik yang dinamakan musik lide. Latar belakang permainan musik ini adalah sebagai media penghubung manusia dan sang penguasa alam. Disamping memainkan musik ,terdapat satu orang perempuan yang menyanyi dengan isi syair pantun (dalam bahasa sangihe disebut papantung medenden). Musik lide terdiri dari sekumpulan alat musik tradisional Sangihe yang dimainkan secara bersama oleh penganut kepercayaan sundeng. Musik ini sudah ada bersamaan waktunya dengan kerajaan mula-mula di kepulauan sangihe tahun 1500–an. Kesenian ini lahir sabagai bagian dari ritual mêsundeng.

1. Jenis alat musik lide
Musik lide terdiri dari beberapa jenis alat musik yang pada musik melodis memiliki unsur 5 buah nada yaitu : do, re, mi, fa, sol.

a. Alat musik melodis atau alat yang mengantar melodi pada lagu.

· Arababu dan alat penggesek.
· Bansi, alat musik melodis

b.Alat musik ritmik.

· Sasesaheng
· Salude
· Oli

2. Jenis lagu pada musik lide.

Musik lide terdiri dari 8 jenis irama lagu purba. Jenis irama lagu purba yang masih ada dari antara 8 lagu purba adalah:

1. Lagung lide
2. Lagung laogho u lendu
3. Lagung elehu ake
4. Lagung sangi u wuala

Lagu yang sudah punah diantaranya adalah Ondolu Wango.

Hal ini disampaikan oleh nara sumber, pemain dan pembuat alat dikampung Manumpitaeng bernama Umbure Kalenggihang. Menurut bapak Malomboris (pemerhati music lide dari kampung Manumpitaeng) lagu yg sudah dinyatakan punah masih dapat dimainkan oleh Bapak Umbure tetapi belum saatnya diajarkan. Hal ini mungkin berhubungan dengan sitem pewarisan pada Agama Sundeng. Menurut bapak Malomboris, pemerhati budaya lide dari Manumpitaeng mengatakan bahwa selain lagu, terdapat juga tari pada ritual sundeng yang sudah dinyatakan punah, tari tersebut bernama Tari lide.

Jenis irama lagu, pengembangan dari lagu purba diantaranya adalah :

1. Lagung bowong buas
2. Lagung balang
3. Lagung sahola

Setiap jenis lagu memiliki latar belakang penciptaan yang berbeda. Yang unik dari irama musik lide yaitu : irama musik lide sudah diturunkan secara turun-temurun tanpa perubahan secara signifikan. Perbedaan musik lide hanya terdapat pada tempat dimana musikc itu dikembangkan. Irama lagu musik lide di daerah sekitar Pulau Mahumu hanya menggunakan 3 irama lagu sementara didaerah lain menggunakan 4 irama lagu. Musik lide merupakan paduan dari beberapa jenis alat musik seperti : Oli, Bansi, Arababu, salude dan Sasesaheng yang dimainkan secara bersamaan menjadi sebuah ansambel. Permainan music ini sering juga dipadukan dengan vocal/suara manusia. Syair lagu yang dinyanyikan kebanyakan bertema permintaan yang memiluhkan, hasil dari penderitaan yang berkepanjangan. Pada perkembangan salanjutnya Musik lide mulai dipadukan dengan gong atau dalam bahasa sangihe disebut Nanaungang. Kegunaan gong adalah pengendali tempo lagu.

3. Filosofi dan pemaknaan lagu purba pada music lide.

Dari keempat jenis lagu yang ada, pada dasarnya mempunyai nuansa kepedihan. Lagu lide merupakan lagu inti atau lagu pembuka yang dapat menyertai penyembahan agar cepat sampai kepada sang penguasa alam dalam bentuk permohonan. Lagu Elehu ake: mengetengahkan tentang bentuk permintaan dan permohonan seperti air yang mengalir. Lagu Sangi U Wuala: arti sangi u wuala adalah Tangisan Buaya. Dimasa lalu masyarakat sangihe meyakini adanya Upung (leluhur) Manusia dan Upung (leluhur) Buaya. Upung buaya berjalan dengan dua kaki menggunakan ikat kepala merah. Upung buaya ini memiliki kekuatan yang sangat sakti sehingga apa yang dia minta harus diberikan. Jika permintaannya tidak dipenuhi maka akan ada korban yang ditelan. Lagu sangi u wuala berkisah tentang ancaman terhadap kehidupan manusia yang digambarkan sebagai rupa Buaya. Ancaman tersebut telah membawa umat pada kesedihan yang berkepanjangan. Lagu Laogho u lendu, lagu lendu diambil dari nama salah satu jenis burung yang hidup di sangihe. Burung ini adalah satu-satunya burung dalam kehidupan budaya sangihe yang dianggap sebagai perpanjangan tugas penguasa alam. Tugas burung lendu yang paling utama adalah ating tanda tentang kematian kerabat terdekat. Selain lendu ada juga kaliyaow yang memberi tanda akan kehadiran kerabat dekat dari tempat jauh.

4. Salah satu bentuk lagu pada musik lide

Komposisi Lagung Lide

5. Tarian yang diiringi musik lide.

Tari lide sebagai bagian dari ritual mêsundeng. Merupakan tarian purba yang sudah punah. Tari ini dilakukan dalam tahapan menalê, (menalê adalah memberi makan, wawancara : G. Makamea,2008) dilakukan untuk mengantar roh perempuan muda yang dikorbankan kepada sang pencipta).

Tari lide ditarikan oleh perempuan, penari mengelilingi korban dalam kelompok tari, dan menari sesuai gerakan masing-masing yang imajinatif dan spontan. Gerakan dasar tari, tangan di goyang dan kaki disentak-sentakan ketanah sambil mengelilingi korban. Dasar dari tari lide adalah tari tunggal yang ditarikan bersama.Dilihat dari unsur tari maka tarian ini dikelompokan sebagai tari komunal. Tari komunal adalah suatu peristiwa pertunjukan tari yang melibatkan masyarakat besar. Tari komunal mengandung prinsip semangat kebersamaan,rasa persaudaraan atau solidaritas terhadap kepentingan bersama.

Lambat laun konsep kebudayaan semakin mengalami perubahan. Setelah masuknya agama Islam dan agama Kristen di kepl. Sangihe maka pengorbanan manusia diganti dengan binantang berupa babi. Seekor babi dengan persyaratan yaitu babi tambun besar berwarna hitam keseluruhan dari unjung kepala sampai ujung kuku.Pengorbanan binantang kemudian diganti lagi dengan Sajen berupa ketupat jenis bebatung kambing, salah satu jenis ketupat dari 16 jenis ketupat sangihe.(wawancara: Makamea 2006) Ketupat kemudian diganti lagi dengan nasi kuning yang disajikan diatas piring besar yang disebut dulang. Populasi pelaku musik lide asli dan medenden tinggal satu orang.


B. KESENIAN MĔBAWALASĔ

Mĕtaggongong identik dengan mĕbawalasĕ sambo.

Alat musik yang digunakan dalam permainan musik “mĕtagonggong” adalah gendang.

Dimasa lalu, permainan musik tagonggong dijadikan sebagai pengiring kegiatan “me’sambo” atau mĕbawalasĕ sambo, tari gunde dan upacara adat. Pengaruh kebudayaan import dan saling berpengaruhnya budaya sendiri menjadi bagian dari perjalanan panjang budaya mebawalase kantari.

Dari cerita lisan dan beberapa folklore sangihe tentang Makaampo, memberikan gambaran kemahiran leluhur orang sangihe dalam berpuisi dan berpantun. Berpantun adalah bagian umum dari budaya nusantara yaitu mengucapkan syair–syair dalam bentuk percakapan yang memiliki arti dan harus dibalas sesuai permintaan syair sebelumnya. Pantun dilakukan secara berbalas-balasan antar dua orang atau dua kelompok.

Pantun, mantera, tinggung-tinggung adalah sastera lisan tertua di sangihe yang diajarkan secara turun-temurun. Mantera mengalami perubahan isi sejak masuknya Islam di kepulauan sangihe. Pantun tidak mengalami perubahan isi melainkan mengalami perubahan cara penyajian. Tinggung-tinggung atau teka-teki pertama kali mendapat respons masyarakat di Istana kerajaan tabukan. Dikemudian hari kegiatan berbalas syair muncul dalam bentuk berbeda yaitu disajikan dengan iringan musik tagonggong. Syair lalu dilantukan “bernada” penthatonik dan dibalas oleh orang lain. Sambil melantunkan sambo setiap orang harus memukul tagonggong sesuai irama yang diinginkan.

Ada tiga unsur penting dalam mĕbawalasĕ sambo yaitu: mĕtagonggong, mĕsambo, mĕbawalasĕ. Inti dari kesenian ini adalah mĕbawalasĕ. Setiap lawan sambo harus mampu menjawab atau membalas syair yang disambokan. Kalau tidak maka akan dianggap kalah. Berdasarkan cerita dari kampung dagho, kalamadagho dan pananaru bahwa pulau sambo yang ada di pantai kalamadago terlempar akibat permainan tagonggong dan sasambo seorang yang sakti. Sampai saat ini, pulau tersebut dinamakan pulau sambo. Dimasa lalu, setiap sambo yang dilantunkan memiliki kekuatan magic yang dapat membunuh orang. Bentuk lagu sambo terdiri dari: lagung balang, lagung sonda, lagung sasahola,lagung duruhang, dan lagung bawine.

Setelah masuknya bangsa eropa, kesenian mĕbawalasĕ melahirkan bentuk baru yaitu saling berbalas lagu atau mĕbawalasĕ kantari. Lagu-lagu yang dinyanyikan mendapat sentuhan diatonis eropa yaitu nada do,re,mi,fa,sol,la,si.

Pada awalnya, kesenian mĕbawalasĕ kantari dilaksanakan pada kumpulan keramaian sebagai pertunjukan rakyat dalam acara-acara hayatan, pernikahan dan kematian. Proses mĕbawalasĕ kantari mula-mula adalah seseorang berdiri sambil menyanyi lalu diikuti oleh peserta yang hadir sambil menunjuk satu demi satu orang yang hadir ketika lagu berhenti, dengan sendirinya orang yang tertunjuk bersamaan dengan akhir lagu harus berdiri menggantikan orang yang sedang berdiri. Kesenian ini kemudian disebut “tunjuk”.

Kesenian mĕbawalasĕ kantari menemui persimpangan sejak masuknya injil di tanah sangihe. Pada saat itu lahir bentuk paduan suara gereja yang disebut Zangvereeninging yang diambil dari kata dasar zang (bahasa belanda) yang berarti nyanyian. Di manganitu kelompok paduan suara ini berkembang sejak akhir tahun 1800 dengan sebutan sampregening. Diawal tahun 1900 Nn. C.W.S. Steller menawarkan diri menjadi pelatih sampregening jemaat kristen Paghulu.

Lambat laun kesenian eropa ini terinkulturasi dengan kesenian “tunjuk”. Kemudian muncul kesenian masamper yang merupakan persilangan antara paduan suara gereja dan kesenian tradisional. Pengistilahan sampri sebagai paduan suara masih digunakan sampai tahun 1960-an. Bersamaan dengan itu sudah muncul istilah samperě yang menggantikan istilah tunjuk pada kegiatan mebawalasě kantari.

Kesenian tradisional adalah seni budaya yang sudah sejak lama temurun,telah hidup dan berkembang pada suatu daerah tertentu (Okka A. Yati dalam M. M. Bawelle, Pengaruh Partisipasi Sponsor terhadap pengembangan seni masamper di kecamatan malalayang kotamadya manado, Skripsi, 1998)

Masamper mula-mula berasal dari bahasa belanda Zang sfeer yang artinya menyanyi bersama dalam suasana tertentu. Masyarakat sangihe menyebutnya Samper dan mendapat pengaruh imbuhan “me” menjadi mesamper. (Taman Budaya, Rumusan hasil sarasehan masamper, 15 0ktober 1992 dalam M. M. Bawelle, Pengaruh Partisipasi Sponsor terhadap pengembangan seni masamper di kecamatan malalayang kotamadya manado, Skripsi,1998)

Unsur utama Masamper adalah: unsur musik vokal, unsur gerak, unsur mebawalase atau berbalas-balasan. Menggunakan nada diatonik dan dinyanyikan seperti paduan suara/koor. ( M.M.Bawelle, Pengaruh Partisipasi Sponsor terhadap pengembangan seni masamper di kecamatan malalayang kotamadya manado, Skripsi,1998)

Di Indonesia hanya ada dua bentuk paduan suara tradisional yaitu paduan suara tradisional batak dan masamper dari sangihe. Masamper terbentuk dari beberapa babakan berdasarkan jenis lagu yang dinyanyikan.

1. Lagu pertemuan atau perjumpaan.

Pada jenis lagu ini hanya dapat dinyanyikan lagu yang bertemakan perjumpaan dalam suatu acara hayatan seperti perkawinan dan kematian. Jenis lagu ini mengalami perubahan dengan tema lagu perjumpaan secara umum.

2. Lagu rohani/pujian

Pada jenis lagu ini hanya dapat dinyanyikan lagu yang bertemakan rohani. Termasuk aktifitas religius agama sangihe maupun agam kristen.

3.Lagu-lagu bertemakan kepahlawanan

Pada jenis lagu ini hanya dapat dinyanyikan lagu yang bertemakan kepahlawanan pahlawan sangihe. Tetapi kemudian seiring dengan perkembangan muncul tema kepahlawanan nasional.

4. Lagu-lagu bertema sastera sangihe.

Pada jenis ini hanya dapat dinyanyikan lagu yang bermakna dan bernilai sastera tinggi, tidak boleh menggunakan kosa kata bahasa sangihe sehari-hari.

5.Lagu percintaan

Pada jenis lagu ini mengambil tema cinta dan kasih sayang orang tua kepada anak, anak kepada orang tua, kepada sesama,kepada teman dan sahabat, kepada orang dewasa yang akan dan saling bercinta (pacaran), problema cinta muda-mudi,problem rumah tangga.

6. Lagu perpisahan

Babakan ini adalah babakan yang paling terakhir dimana acara mêsamperê sudah selesai. Berakhirnya mêsamperê ditandai dengan tidak ada lagi kelompok yang mampu membalas lagu terakhir.

Dimasa lalu kegiatan mêsamperê dapat diselenggarakan selama 24 sampai 48 jam. Hal ini bisa terjadi apabila kelompok yang ikut dalam mêsamperê memiliki banyak perbendaharaan lagu. Hal yang menarik dimasa lalu, karena kehabisan lagu seorang pangataseng (pemimpin mêsamperê) dapat menciptakan lagu pada saat kegiatan mêsamperê sementara berlangsung.

Meskipun lagu–lagu masamper banyak menggunakan lagu–lagu tahlil dan mazmur, tetapi ditahun 1800, budaya masamper adalah budaya umum sangihe. Hal ini terbukti dengan banyaknya kaum muslim yang ikut dalam kegiatan “tunjuk”. Mereka mengetahui banyak lagu-lagu kristen. (penjelasan bpk. Luqman Makapuas dan beberapa tua kampung di Tabukan Utara) Sejak munculnya sampregening maka kebudayaan masamper lebih identik dengan kristen.

Tahun 1980-an, masamper mulai dilombakan dalam berbagai kegiatan. Menjelang tahun 1990-an nilai-nilai asli masamper berubah dengan munculnya grup-grup masamper modern yang tujuannya mengarah kepada kegiatan komersial.. Nilai positif dari munculnya grup masamper komersial adalah semakin meluasnya pengenalan akan budaya sangihe ke seluruh Indonesia.

Selain beberapa seni musik yang sudah dijelaskan, Masayarakat sangihe juga mengenal beberapa permainan musik lain seperti: musik tunta, musik bambu melulu, musik puhe dan music orkes. Musik orkes adalah satu bentuk ansambel music yang diwariskan sejak masa Spanyol.

C. TARIAN SANGIHE
Masyarakat sangihe telah mengenal tari sejak zaman pra sejarah. Dimulai dengan lahirnya tari lide dalam upacara sundeng. Tari lide kemudian berubah karakternya menjadi mêsalai (salai dalam bahasa sangihe artinya menari). Konseptual tari sangihe pada awalnya dilakukan dalam upacara sundeng yang merupakan bagian dari keutuhan teatrical upacara dimana terdapat berbagai macam kesenian yang ditampilkan dan setiap orang melakukannya berdasar peran masing-masing. Mêsalai memasuki bentuk baru yaitu : pementasan secara spontan dalam acara-acara keramaian. Mêsalai yang berakar dari tari lide ditarikan oleh sekelompok orang dengan peran tunggal disertai gerakan dan ekspresi spontan, tanpa dibentuk sebelumnya. Konsep utama tari ini adalah gerakan bebas dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Tari ini mengalami perubahan-perubahan sampai muncul tarian Gunde.

Berdasarkan fungsi dan perannya dalam kehidupan sosial, tari - tarian sangihe dikelompokan dalam dua bagian yaitu ; Tarian Istana dan Tarian Rakyat.

a. Tarian Istana

1. Tari Gunde

Pada awalnya tarian gunde ditarikan secara perorangan dikampung-kampung oleh para wanita yang masih perawan pada upacara perkawinan yang menggambarkan kesucian seorang wanita sangihe. Gunde dalam bahasa sangihe berarti lambat. ( A. Takaonselang-Manganitu,wawancara. 2006).

Pada suatu masa masuklah kesenian ini menjadi bagian dari kesenian Istana dikerajaan Manganitu. Penari dipilih dari penari-penari terbaik di tiap kampung. Gerak dasar tari gunde teradaptasi dari tari lide. Mulanya tarian ini dipentaskan sebagai tarian hiburan untuk raja, kemudian berubah fungsinya menjadi tarian penjemput tamu penting kerajaan yang dilakukan di depan istana. Seiring perkembangan waktu, ada beberapa penari gunde istana lalu menjadi selir raja. Persebaran penari gunde meliputi semua wilayah kerajaan Manganitu.

2. Tari Rangsang Sahabe dan Tari Alabadiri.

Tari ransa/rangsang sahabe atau dangsang sahabe adalah tari yang tercipta dari sebuah sayembara. Tarian ini lahir dari lingkungan istana kerajaan tabukan tahun 1700.Pada saat itu terjadi kefakuman jabatan raja setelah Raja Don Fransiskus Yuda– I mengakhiri jabatannya. Untuk mengisi kekosongan jabatan maka di persiapkanlah satu lomba khusus kepada dua orang calon pengganti raja. Dua orang tersebut adalah Dalero dan Pandialang. Lomba yang disiapkan adalah lomba dayung (dorehe) . Jalur yang ditempuh mulai dari Salimahe sampai ke Punge ( pulau beng laut).

Kompetisi itu terjadi kira-kira tahun 1720 dan dimenangkan oleh Dalero dengan kecurangan. Dari kemenangan itu dalero berhak menduduki tahta kerajaan. Nama lain dari dalero adalah Markus Jakobus Dalero. Untuk memperingati kemenangan tersebut, dalero menciptakan tari yang dinamakan tari Alabadiri. Pandialang hanya menduduki jabatan Jogugu di Sahabe. Pandialang yang kecewa, lalu menciptakan satu tarian tandingan yang disebut Rangsang Sahabe. Secara umum tari alabadiri dan ransang sahabe memiliki kesamaan.

Tari alabadiri, dapat dikelompokam sebagai bentuk tarian teatrikal. Penari membawakan peran dari sebuah cerita dalam bentuk gerak tari. Tari alabadiri terbentuk dari 10 tahapan dengan konsep tari dan cerita yang berbeda. Tari alabadiri menggunakan beberapa properti pendukung tari seperti ; kulubalang,kaliau,tokoting,sinsing,sondang. Tarian ini khusu dimainkan oleh laki-laki diiringi “tambor” (bukan tagonggong) dan dipimpin oleh seorang pangataseng dan dua kapita.

Tahapan tari alabadiri adalah :

1. Penghormatan kepada penonton (pembukaan)

2. Gerakan dengan alat kulubalang (tongkat berhias)

3. Gerakan dengan alat tokoting (cambuk dari rotan)

4. Gerakan dengan alat sinsing (cincin)

5. Gerakan dengan alat sondang ( pisau kecil)

6. Gerakan mesalai (menari-nari)

7. Gerakan memainkan kaliau (perisai) ke telinga

8. Gerakan memainkan kaliau (perisai) ke lutut

9. Gerakan mangaemba (terbang seperti burung)

10. Penghormatan kepada penonton (penutup)

Filosofi utama tarian ini bermakna “tunduk dan patuh pada penguasa.

Tari Upase, adalah tarian yang menggambarkan kesiapan pengawalan raja dalam setiap peperangan. Tarian ini disebut juga Opase.

Tari Běngko, adalah tari yang diadaptasi dari peran prajurit kerajaan Tabukan dalam mengawal raja. Tari ini menggambarkan kesiapan pasukan perang dalam menghadapi musuh. Dalam bahasa sangihe, bengko berarti tombak.

Tari Kabasaran Tambor. Tarian ini menggambarkan semangat perang, yang disampaikan melalui pukulan-pukulan tambor. Diperkirakan bentuk kesenian ini teradaptasi dari kesenian eropa. Tarian ini sudah punah dan tidak pernah lagi dimainkan.

b. Tarian rakyat

1. Tari Salo

Salo berarti mengamuk. Tari salo adalah bentuk tarian purba yang dilakukan dalam upacara sundeng sampai masuknya bangsa eropa di Sangihe. Prosesi salo dilakukan dengan cara mengelilingi korban persembahan berupa babi. Diiringi bunyi-bunyian musik etnik sangihe sambil menikam babi yang tergantung di pohon. Tari salo lahir sebagai ekspresi perang antara kebaikan dan kejahatan dalam kepercayaan sundeng (G, Makamea, dan masyarakat disekitar tempat upacara, wawancara, 2006) Tari salo yang dulunya bagian dari kegiatan ritual adat kemudian menjadi bagian dari tari pertunjukan rakyat. Biasanya tari ini diperagakan saat ada kunjungan tamu terhormat atau dalam acara tuludě. Selain salo terdapat juga tari upase, tari bengko, tari alabadiri dan dangsang sahabe yang menggambarkan semangat, dalam bentuk tari theater. Tari salo adalah tarian rakyat sedangkan tari upase,tari bengko,tari alabadiri dan dangsang sahabe adalah tarian istana.

2. Tari Ampa wayer

Di era tahun 1940–an, lahir sebuah kesenian rakyat baru,yang disebut “ampa wayer”. Kesenian ini adalah kesenian rakyat yang muncul dari kepulauan Siau. Kesenian ini merupakan adaptasi dan perpaduan dari kesenian eropa dengan kesenian setempat. Tarian ini sudah berkembang sejak masa penguasaan spanyol di kerajaan Siau dan menemukan identitasnya menjelang berakhirnya perang dunia II. Ampa wayer adalah gerak tari kelompok yang dipimpin oleh seorang kapel. Gerakan tari terbentuk berdasarkan irama musik pengiring. Pada dasarnya, inti dari kesenian ini adalah tarian muda-mudi yang ditarikan secara spontan dalam kumpulan keramaian sebagai bentuk ekspresi kebebasan dan kemerdekaan.

3. Tari Mědunde.

Tari ini berkisah tentang latar belakang lahirnya pulau siau. Sepintas, cerita dalam tari ini mirip dengan kisah Tumatenden dari Minahasa Utara dan kisah Joko Tarub dari jawa. Cerita dalam tari ini mengisahkan perjodohan antara seorang laki-laki bernama Mědunde dengan seorang bidadari dari khayangan. Awal kisah, medunde seorang yang pintar berpuisi suatu ketika memasuki hutan untuk mencari burung. Tetapi dia justru bertemu dengan seorang bidadari yang sedang mandi bersama 9 orang saudaranya. Salah satu dari bidadari itu yang kemudian menjadi isterinya. Dari pernikahan itu lahir dua orang anak bernama pahawon sulugě dan kanawoeng (kanawoeng bergelar pahawontoka).Siau diambil dari kata sio (sembilan) dari kisah sembilan bidadari dan Mědunde (buku toponimi,............sudin kebudayaan dinas diknas, 2006)

4. Tari Kakalumpang

Tari ini berkembang sejak masa kekuasaan VOC di sangihe yang dipadukan dengan aktifitas masyarakat. Latar belakang ceritanya adalah: Ternate sebagai perpanjangan tangan VOC mengklaim kekuasan atas sangihe, sehingga rakyat sangihe harus memberikan upeti kepada kesultanan ternate.

Upeti yang diberikan berupa minyak kelapa. Dari kegiatan mencukur kelapa inilah lahir kesenian Měkakalumpang. Tari kakalumpang juga mendapat sentuhan maluku dengan tari gaba-gaba.

Masih banyak kesenian sangihe yang tidak dapat dikembangkan seperti: Seni mebowo dan seni meganding.Seni mebowo, adalah bentuk seni yang dilakukan dalam bentuk nyanyi untuk menidurkan bayi dalam ayunan. Pengungkapan lagu hanya dengan syair yang bermakna puitis.

Selain beberapa kesenian yang sudah dipaparkan sebelumnya,juga terdapat kesenian Islam asli sangihe yaitu : Hadrah mangut, Samrah dan Turunan. Semua jenis kesenian Islam sangihe, pada awalnya lahir dan berkembang di Tabukan kemudian menyebar ke seluruh daerah yang berpenduduk muslim.


BAB - VI
SENI RUPA SANGIHE

Seni rupa adalah ungkapan gagasan atau perasaan yang estetis dan bermakna yang diwujudkan melalui media, titik, garis, bidang, bentuk, warna, tekstur, dan gelap terang yang ditata dengan prinsip-prinsip tertentu. Ekspresi karya sani rupa disangihe sudah dilakukan dari saman pra sejarah seperti lukisan didinding goa, gerabah dll. Penciptaan karya seni rupa di dominasi oleh karya seni pakai dalam bentuk kerajinan. Yang termasuk karya seni rupa sangihe diantaranya : Pembuatan tekstil termasuk didalamnya busana atau pakaian orang sangihe,kerajianan anyam,arsitektur bangunan, ragam hias,pembuatan perahu. Semua aspek penciptaan karya seni rupa sangihe didasari oleh aktifitas tradisi.


A. Ragam Hias sangihe

Sejak masa prasejarah, suku sangihe sudah mengenal dan menggunakan ragam hias. Ragam hias tertua ditemukan pada gerabah atau perlengkapan dapur manusia purba yang oleh para ahli diperkirakan berumur 5000 tahun.

Dibawah ini adalah ragam hias yang dimodifikasi dari ornamen dengan teknik cukil dan tekan (membutsir) pada gerabah.

Persebaran gerabah terbanyak dengan motif seperti ini di temukan di Talaud,juga di temukan dibeberapa gua karang di sangihe.

Ragam hias ini di kelompokan dalam tipe Raramenusa.



Ragam hias tipe raramenusa


Selain ragam hias tipe raramenusa terdapat juga ragam hias lain berdasarkan desain dari K.G.F Steller. Ragam hias sangihe digunakan untuk berbagai macam kerajinan seperti pada pembuatan tikar (sapie/tepihê), kain pembatas ruangan ,kain alas tempat tidur,ukiran kawila (tempat sirih).



DALOMBO



A. Tekstil

Kerajinan yang berhubungan dengan tekstil di kepulauan sangihe sudah diproduksi sejak lama, seperti pembuatan kain,tirai pembatas ruangan,alas meja, kain untuk alas tempat tidur dan pakaian.

a. Tenun kain

Tenunan masuk kewilayah Nusantara bersamaan dengan masuknya bangsa-bangsa yang sudah mengenal perunggu dan besi.Mereka memperkenalkan alat tenun sederhana yang diikatkan pada tubuh dengan namaGedogan.Tenunan ini menggunakan susunan benang lungsi yang berkesinambungan. Jenis - jenis serat yang ditemukan di Indonesia sebagai bahan dasar tenun adalah : serat rami, lontar,raffia,abaca dan serat nenas.

Di Sangihe, benang tenun terbuat dari serat Abaca (musa textilis atau musa mindanesis ) sejenis pisang pisangan dalam bahasa sangihe disebut koffo atau hote. Tanaman hote ini dikenal juga dengan nama Manila Hemp. (Cut Kamaril Wardhani,Ratna Panggabean,Tekstil,2005).

Motif - motif hiasan tenun di Indonesia mendapat pengaruh dari china, india dan arab. Selain sebagai busana, kain digunakan dalam berbagai aktifitas kehidupan manusia seperti upacara keagamaan dan mas kawin. (Ensiklopedi Indonesia)

Suku sangihe mengenal beberapa teknik pewarnaan kain menggunakan bahan alam sekitar. Warna merah, ungu, kecoklatan menggunakan kulit batang bakau ( Mangrove) dan Seha atau mengkudu ( Morinda citrifoia) Tanaman bakau dan mengkudu tersebar di seluruh desa di pulau sangihe besar.Warna merah dari kesumba. Dari bukti kain yang ditemukan melalui efek warna yang tersisa dari kain – kain tua tidak ditemukan teknik pewarnaan menggunakan warna kuning. Warna-warna yang nampak pada kahiwu tua adalah merah,ungu,kecoklatan, coklat muda yaitu warna asli hote.

Aktifitas tenun sangihe mengalami kemunduran mulai dari tahun 1889. Pada saat itu pohon – pohon pisang abaca dipotong atas perintah pemerintahan colonial belanda dan diganti dengan kapas, tebu dan tembakau. Kerajiann tenun bertahan sampai tahun 1994 dengan dikirimnya seorang pengrajin asal kampung Lenganeng ke Jakarta. Meskipun demikian, sampai saat ini disetiap desa masih memiliki satu sampai tiga orang yang boleh menenun kain koffo. Alat - alat tenun masa lalu masih dimiliki oleh pengrajin dibeberapa desa seperti, Manumpitaeng, Lenganeng Batunderang.

Tahun 1898, kerajaan Tabukan mengirim kain koffo di Manado atas pesanan para orang kaya.Tahun 1924 kerajaan Tabukan mengadakan pameran kain koffo di Pekalongan dan mendapatkan penghargaan Erediploma. Tahun 1926 raja Tabukan berpameran di Manado mendapatkan penghargaan tembaga. Ditahun yang sama kain koffo di pamerkan di Jogyakarta.

Kain kofo (pembatas ruangan) dan sapu tangan yang ditemukan di Manumpitaeng berumur ± 120 tahun.

Selain memproduksi kain tenun (kahiwu), suku sangihe juga mampu membuat busana atau pakaian. Secara umum pakaian laki-laki disebut balí’, pakaian perempuan disebut laku tepu, kemeja disebut (baniang). Alat yang digunakan untuk menenun kain disebut Kahiwuang.

Dalam kehidupan sehari hari suku sangihe dimasa lalu, pakaian dapat menenunjukan perbedaan status social. Ada pakaian yang digunakan di kalangan istana dan para bangsawan dan ada juga yang digunakan oleh masyarakat biasa. Secara umum model pakaian bangsawan dan pakaian rakyat biasa tidak jauh berbeda. Yang membedakan adalah teknik pewarnaan dan atribut atau asesoris yang digunakan. Sejak masuknya bangsa eropa di kepulauan sangihe, pakaian dan asesoris mengalami perubahan model dan fungsi dalam kehidupan bermasyarakat.

b. Pakaian wanita “ Laku tepu“

Pakaian wanita Ampuang (pemimipin agama

c. Model Konde
Konde dalam bahasa sangihe disebut boto. Model Konde yang digunakan oleh perempuan sangihe pada umunya berbentuk boto pusige. Bentuk konde terdiri dari dua macam yaitu : konde untuk ampuang di rangkai tepat di ubun-ubun dan konde umum berada dipusar kepala.

d. Pakaian laki-laki baniang (kemeja) dan laku bali.

B. Kerajinan tangan (handycraft)

Kerajinan rakyat yang mendominasi pekerjaan rumah tangga masa lalu adalah pembuatan anyaman. Anyaman sangihe memiliki cirri khas khusus dibandingkan dengan daerah lain di Sulawesi utara. Tidak diketahui kapan orang sangihe mulai menganyam. Anyaman sudah menjadi bagian sehari-hari dalam kehidupan orang sangihe. Kebanyakan dari hasil kerajinan anyam dibuat untuk benda pakai, seperti tikar, bika,tempat buah,keranjang,perangkap ikan dan lain-lain.

Selain anyaman, orang sangihe juga memproduksi gerabah atau tembikar (dari bahan tanah) dan alat-alat yang dibuat oleh pandai besi. Aktifitas pekerjaan pandai besi sudah dilakukan sejak masa Makaampo. Pendapat lain juga mengatakan bahwa produksi pandai besi dimulai abad ke 15. Alat yang dihasilkan oleh pandai besi tujuannya sebagai benda pakai yang digunakan di rumah, perkebunan maupun untuk berperang. Orang yang ahli dalam menempah besi disebut “kipung”.

Masyarakat sangihe juga mengenal seni teatrikal. Kesenian ini berkembang di daerah kuma yang dinamakan Gagaweang. Kesenian ini ditampilkan setahun sekali setiap akhir tahun. Teknik pergelarannya dalam bentuk parade keliling kampung dengan pakaian dan atribut kerajaan. Komposisi barisan berdasarkan peran sebagai berikut : Barisan terdepan adalah Raja yang diikuti oleh bawahannya mulai dari Bobato,Jogugu,Kapiten laut, Mayore, Hukum Mayore, Sadaha, Kapita, Kumelaha, Sawehi (dukun),Mihinu ( Tukang palakat). Setelah selesai berkeliling kampung para peserta makan bersama di rumah tua adat atau kapitalaung, sebelum makanan ini dimakan bersama, harus dicicipi oleh orang yang berperan sebagai sadaha. Dengan maksud mengetahui apakah makanan tersebut beracun atau tidak. (Informasi, Bpk. Derek Lahunduitan,Kuma – November 2009)


BAB – VII
ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI

Orang sangihe adalah satu-satunya suku pelaut di utara Indonesia. Nenek moyang orang sangihe sudah mengarungi lautan luas ke timur sampai ke halmahera dan papua, keselatan sampai ke pulau jawa dan sampai ke luar nusantara yaitu ke china.

“ Yang pasti, pulau-pulau ini sudah sejak penemuan Ferdinand Magelhaes dalam tahun 1512, telah berhubungan dengan dunia barat ,juga oleh penangkap ikan paus dari amerika.Orang china dan orang arab sudah sejak dahulu mulai berdagang dengan penduduk dan kawin dengan wanita pribumi. Sebagai pelaut yang berani penduduk pulau ini sejak berabad – abad lalu merantau dengan perahu-perahu mereka ke berbagai bagian kepulauan hindia. Pieter Alstein dan David Haak dalam laporan kunjungannya ke Talaud menulis bahwa penduduk dengan perahu-perahu sendiri berlayar ke Batavia,Malaka,manila dan Siam. (D.Brillman,Zending dikepulauan sangi, dan talaud.terjemahan GMIST)

A. Perahu sangihe

Kemampuan membuat atau merancang berbagai perahu sudah dimiliki sejak nenek moyang. Kemampuan ini tidak dimiliki oleh suku lain di Sulawesi utara. Bahkan sampai saat ini, beberapa kapal yang digunakan sebagai angkutan laut pada jalur pelayaran philiphin,talaud,manado,bitung, halmahera diproduksi oleh orang sangihe yang bukan ahli perkapalan secara akademisi.

Perahu merupakan sarana vital yang menghubungkan beberapa pulau di kepulauan sangihe. Tanpa perahu, perekonomian sangihe akan menjadi pincang. Setiap kampong pesisir memiliki ahli membuat prahu. Kegiatan ini sudah menjadi bagian dari adat sangihe. Dari budaya membuat perahu kemudian muncul ritual tua menondo sakaeng atau menurunkan perahu.

Perahu sangihe sudah dikenal secara luas sejak masuknya spanyol di Sangihe. Perahu sangihe sering digunakan sebagai armada perang diantaranya sebagai armada perang laut antara portugis dan voc di tondano. Perahu tertua sangihe adalah bininta atau tumbilung, kemudian muncul perahu kora-kora, konteng, londe dan bolotu, termasuk diantaranya perahu untuk lomba dayung.

Penggunaan perahu dalam aktifitas sehari hari berbeda fungsinya. Perahu sangihe digunakan untuk manangkap ikan, berlayar antar pulau dekat, antar pulau yang jauh, armada perang, sebagai tumpangan raja, sebagai perahu raja, perahu pengawal raja, perahu tempur, perahu tambangan (bolotu) perahu ini digunakan apabila perahu kora-kora tidak bisa merapat kepantai dan perahu lomba. Sealain perahu pakai terdapat juga miniature perahu yang digunakan dalam upacara menahulending banua yang disebut lapasi. Perahu tersebut berguna untuk membawa penyakit dan semua kesialan manusia didarat dan dibuang bersama dengan miniature perahu kelaut.

Beberapa model perahu berdasarkan desain K.G.F. Steller dalam buku “ Sangirees– nedherlands woordenboek ” dari model yang sebenarnya dan di modifikasi untuk disesuaikan oleh Alffian Walukow.

1. Perahu Bininta

Grafland dalam buku Minahasa masa lalu dan masa kini (terjemahan Jost Kulit) menulis bahwa sudah ada perahu sangihe yang berlabuh di pelabuhan manado tahun 1800 dengan nama perahu Kora-kora dan tumbilung. Perahu tumbilung sama dengan bininta tetapi tumbilung menggunakan tiga bahateng.

2. Perahu kora – kora, perahu ini adalah perahu kenegaraan raja-raja sangihe.

3. Perahu jenis londe dan perkembangannya

Perahu jenis pambut, merupakan perahu tradisional philipin yang juga diproduksi dan digunakan di sangihe.

4. Perahu konteng

Perahu ini adalah perahu yang digunakan raja dalam kunjungannya ke daerah bawahan.

Perahu bolotu

Nenek moyang orang sangihe sudah menggunakan teknologi dan mengenal ilmu pengetahun sejak lama diantaranya, pembuatan berbagai macam perahu,mengenal sistim perbintangan, peredaran bulan di langit dan penanggalan kalender. Tidak diketahui sejak kapan kemampuan akan pengetahuan dan teknologi dimulai tetapi sudah sejak lama digunakan.

NAMA MATA ANGIN
Mata angin indonesia                Nama sangihe

Utara                                        Sawenahe
Utara timur laut                         Laesuiki sawenahe
Timur laut                                 Laesuiki
Timur timur laut                        Laesuiki dahi
Timur                                       Dahi
Timur tenggara                         Mahaing dahi
Tenggara                                  Mahai
Selatan tenggara                        Mahaing timuhe
Selatan                                      Timuhe
Selatan barat daya                     Tahanging timuhe
Barat daya                                 Tahanging
Barat, barat daya                       Tahanging bahe
Barat                                         Bahe
Barat, barat laut                         Poloeng bahe
Barat laut                                  Poloeng
Utara barat laut                         Poloeng sawenahe

NAMA HARI


Nama hari Indonesia                  Nama Sangihe
Senin                                         Mandake
Selasa                                        Salasa
Rabu                                          Areba
Kamis                                       Hamise
Jumat                                        Sambayang
Sabtu                                        Kaehe
Minggu                                      Misa


NAMA BULAN KALENDER MASEHI DALAM BAHASA SANGIHE

Nama bulan Indonesia                Nama Sangihe
Januari                                        Hiabe
Pebruari                                      Kateluang
Maret                                          Pahuru
April                                           Kaemba
Mei                                             Hampuge
Juni                                             Hente
Juli                                              Bulawa kadodo
Agustus                                      Bulawa geguwa
September                                  Bewene
Oktober                                     Liwuge
Nopember                                  Lurange
Desember                                  Lurangu tambaru


DAFTAR NAMA BULAN DI LANGIT BERDASARKAN HARI


Hari                   Nama bulan

1                    Kahumata – Pakĕsa
2                    Kahumata – karuane
3                        Kahumata - katelune
4                        Sebangu – harese
5                      Batangengu - harese
6                       Likud’u - harese
7                    Sehangu - letu
8                   Batangu – letu
9                    Likud’u - letu
10                 Arang
11                 Sehangu pangumpia
12                 Batangnegu pangumpia
13                   Umpause
14              Limangu bulang
15               Teping
16           Sai pakesa
17           Sai karuane
18          Sai katelune
19          Sehangu harese
20          Batangengu harese
21          Likudu harese
22           Sehangu letu
23          Batangengu letu
24          Likud,u letu
25          Awang
26          Sehangu pangumpia
27          Batangengu pangumpia
28          Umpause
29           Limangung basa
30                   Tĕkalĕ

B. Rumah Tempat Tinggal

Berdasarkan temuan ahli, tempat tinggal manusia sangihe saman pra sejarah adalah di goa – goa karang. Dalam legenda, tempat tinggal manusia sangihe purba adalah di dahan pohon besar dan di pohon - pohon yang roboh. Seiring perkembangan waktu dan dikenalnya teknologi, mereka mulai membuat rumah – rumah sederhana.

Pada awalnya bentuk rumah sangat sederhana. Berdasarkan pemahaman beberapa budayawan sangihe bahwa rumah orang sangihe adalah pamangkonang. (wawancara. M. Madonsa.2007). Kemudian berkembang menjadi rumah ikat. Dikatakan rumah ikat karena tidak menggunakan paku tetapi diikat dengan rotan.

Rumah suku sangihe tidak memiliki bilik atau kamar. Sejak masuknya spanyol di kepulauan sangihe, orang sangihe sudah mulai mendirikan rumah dengan konstruksi beton menggunakann semen dari karang yang dibakar. Di masa awal kolonial belanda akhir 1700 sampai awal thn 1800 orang sangihe sudah mulai menggunakan bilik pada konstruksi rumah. Rumah ikat terakhir ditemukan di kampung Lehupu.

Konstruksi rumah kayu orang sangihe adalah rumah panggung. Diantara rumah yang dibangun terdapat rumah umum dimana rumah tersebut adalah tempat berkumpul komunitas adat dari setiap persekutuan hukum adat terkecil banua yang dikemudian hari menjadi rumah raja atau istana. Rumah tersebut dinamakan Bale Lawo.

Menjelang berakhirnya pemerintahan kolonial belanda, bale lawo mendapat sentuhan eropa dari segi kekuatan konstruksi tetapi tetap mempertahankan keaslian model. Rumah sangihe berdasarkan catatan D.Brilman adalah : Rumah-rumah dibangun diatas tiang tinggi, memiliki tangga masuk kerumah yang diangkat pada waktu malam hari. Terdapat satu serambi umum yang luas dan satu bilik tinggal yang sama luasnya dengan serambi umum.Disebelah kiri dan kana terdapat bilik tidur yang dipisahkan oleh dinding kayu,bamboo atau tirai. Jika salah satu anggota keluarga menikah maka rumah akan disambung dibagian belakang. Semakin banyak yang menikah maka akan semakin panjang rumahnya. Rumah seperti ini ditempati oleh 25 sampai 30 rumah tangga. Konstruksi rumah sperti ini terakhir ditemukan di pulau-pulau Nanusa. Banyak rumah asli orang sangihe mengalami pemusnahan akibat letusan gunung api.

Konstruksi rumah panjang berdasarkan catatan D.Brilman dan di rekonstruksi ulang oleh alffian walukow

C. Bale Lawo.

Bale lawo atau istana adalah rumah untuk banyak orang. Rumah ini didirikan sebagai tempat pertemuan masyarakat umum pada satu kesatuan hukum dalam komunitas adat sangihe dengan sang raja sekaligus sebagai tempat tinggal raja. Balelawo pertama kali didirikan oleh Balango di sahabe.

D. Makanan tradisonal

a. Makanan umum

Makanan utama suku sangihe adalah sagu, yang diproduksi dari jenis pohon palm. Di pulau sangihe terdapat berbagai jenis palm diantaranya adalah : Arena tau enau ( Arenga pinnata ), pinang sirih (asal philiphina), Pinang kelapa ( Actinorhytis calapparia),Sagu rumbia (Metroxylan sagu), Kelapa (cocos nucifera), rotan sega (calamus caesius), sarai raja (caryota no), Sarai midi (caryota maxima), palm kuning dan merah endemic sangihe. Melihat bentuknya, pohon yang memproduksi sagu disangihe adalah Sagu (Metroxylan sagu), sarai raja (caryota no) dan Sarai midi (caryota maxima).

Selain mengkonsumsi sagu, masyarakat sangihe juga mengenal adanya beras yang diproduksi dari ladang kering. Selain sagu dan beras, makanan khas sangihe adalah singkong (sangihe = bungkahe),umbi jalar (sangihe ; ima atau batata) dan talas (sangihe = kole ). Setiap hari orang sangihe memproduksi sagu dalam jumlah yang banyak. Tempat untuk memproduksi sagu disebut pamangkonang. Sayuran utama orang sangihe adalah Sakede (daun melinjo), sayur paku,sayur gedi dan sayur wori. Ikan laut merupakan lauk utama ditambah daging babi (untuk yang Kristen) dan daging kambing (untuk yang muslim).

Pada awalnya orang sangihe tidak memakan daging tikus,anjing,kelelawar,ular dan biawak, tetapi sejak masuknya orang Minahasa di kelp. Sangihe maka mulailah orang sangihe mengkonsumsinya. Diantara makanan yang sering dikonsumsi, resep tertua adalah ketupat kuning, ikan laut bakar,sagu bakar dan kuah sasi ( kuah yang di campur dengan ikan laut bakar). Resep makanan yang dominan sampai saat ini adalah Sagu bakar,ubi rebus, dipadu dengan sayur santan dan ikan laut bakar. Untuk pesta atau acara yang menghadirkan banyak orang selalu disiapkan ketupat.

Orang sangihe mengenal nasi yang dibungkus sejak berakhir masa kepercayan sundeng. Pada awalnya, ketupat atau empihise menjadi bagian dari sesajen dalam upacara persembahan yang menggantikan kedudukan manusia dan hewan sebagai korban. Ketupat yang diwajibkan dalam sajen adalah ketupat dengan nama bebatung kambing.

Orang sangihe mengenal 16 jenis ketupat berdasarkan teknik anyaman yaitu : bawatung, muntia, dokongmanu, buang tariang, kaemba, bituing,bebatun kambing, kasumbure, bininta, pikang, sawaku, mehisa, waliung, batung kapese dan kalemba. Ketupat kalemba adalah ketupat yang paling penting dalam upacara keagamaan masa lalu.



Jenis-jenis ketupat sangihe.

b. Tamo.

Berdasarkan cerita lisan, Tamo pertama kali dibuat pada pesta perkawinan Mangulundagho dengan Bangsang peliang di Bongko lumenehe (Kampung dagho sekarang) tamo dibuat dari bermacam macam makanan yang kemudian disebut Golopung (Gideon Makamea,prospek budaya dan tradisi-tradisi historis daerah kab.kepl. sangihe dan talaud-2008).

Pembuatan Tamo kedua oleh Talongkati (bibi dari Makaampo) pada acara perkawinan Makaampo. (Toponimi,cerita dan…….2006). Tamo adalah makanan tradisional khas sangihe yang tidak dapat ditemukan ditempat lain. Tamo adalah makanan yang memiliki filosofi khusus yang berhubungan dengan kehidupan orang sangihe sejak nenek moyang. Filosofi utama dari Tamo adalah “Jawabandan kehormatan” dalam adat sangihe. Tamo adalah bentuk makanan yang memiliki latar belakang cerita kehidupan mula-mula disangihe.

Berdasarkan sastera lisan umum di beberapa wilayah sangihe, tamo pertama kali digunakan bersamaan dengan keberadaan kerajaan Tabukan raya yaitu pada pesta perkawinan mangulundagho dengan wangsang peliang di dagho. (kampung dagho sekarang). Biasanya, tamo hanya disajikan dalam acara yang menghadirkan banyak orang. Karena berdasarkan tradisi bahwa tamo yang dibuat harus habis dimakan. Tamo juga sebagai perlambang undangan. Jika sebuah pesta sudah diletakan tamo pada posisinya maka semua warga boleh hadir dan memasuki pesta tersebut. Dari latar cerita ini maka tamo adalah bagian dari kebersamaan. Kehadiran tamo dalam satu acara mewakili semua makanan yang ada. Tamo adalah makanan yang paling istimewah diantara makanan yang ada, untuk itu tamo harus diletakkan di tempat yang sangat khusus. Dengan syarat dapat dilihat oleh semua orang yang hadir dalam acara.

Resep tamo tua adalah campuran dari beras,umbi-umbian,gula, minyak kelapa, tetapi resep ini tidak bertahan lama karena mudah basi. Pada saat ini resep tamo terdiri dari beras,gula dan minyak kelapa. Untuk membuat tamo harus melewati beberapa ketentuan adat diantaranya, orang yang akan memasak tidak sedang dalam keadaan bertengkar sebelum sampai ke dapur, tempat untuk meletakan kuwali harus menggunakan 3 batu sebagai tungku. Karena sakralnya kue ini maka minyak yang menetes dari cetakan tamo selalu disimpan sebagai minyak yg berkhasiat untuk menyembuhkan penyakit.

Bagian terpenting dalam pembuatan tamo adalah ritual “memoto tamo” (memotong tamo). Sebelum memotong tamo, orang yang ditugaskan untuk memotong tamo harus menyampaikan sasalamate yang dinamakan sasalamate tamo. Isi dari sasalamate tamo adalah berkisah tentang tamo itu sendiri dan pesan atau nasehat tentang kebaikan kepada banyak orang. Sebagai sebuah makanan yang istimewah maka dimasa lalu tamo harus dibungkus dan tidak terlihat.

Tamo, pertama kali dikenal dalam satu pesta perkawinan putri seorang raja dikerajaan Tabukan Tua. Pesta perkawinan itu terjadi sesudah berdirinya Kerajaan Tampungang Lawo, 400 tahun silam atau sesudah keruntuhan Majapahit. Pada masa lalu Tamo memiliki dua spesifikasi dari bentuk dan kegunaannya yaitu Tamo Boki berwarna putih dan Tamo Coklat seperti yang masih dibuat sampai saat ini ( Drs. Bahagia Diamanis Sarjana Sejarah IKIP Negeri Manado,wawancara 2006)

Filosofi terpenting dari Tamo adalah Mengundang masyarakat banyak untuk datang dalam satu pertemuan. Masyarakat dari kalangan manapun boleh datang dalam satu hajatan atau acara syukuran tanpa diundang apabila didalam acara tersebut sudah terlihat Tamo.( Pernyataan Bapak Manossoh Ketua Dewan adat Sangihe dan bapak Mehare dalam satu percakapan menjelang pembuatan Tamo Raksasa di Kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Sangihe, 2006)

Tamo bukanlah status sosial tetapi pada akhirnya Tamo berubah kedudukan dan penggunaannya dalam acara-acara hajatan atau syukuran. Dikemudian hari Tamo menjadi bagian dari status sosial masyarakat. Hal ini terbukti dengan ditempatkannya Tamo pada acara-acara yang sangat khusus seperti acara-acara yang diadakan oleh pimpinan daerah atau acara-acara lain yang sangat khusus seperti pesta pernikahan adat dan modern. Sampai saat ini belum pernah masyarakat sangihe membuat Kue Tamo sebagai jualan dipasar atau sebagai makanan harian. Begitu sakralnya kue adat Tamo sehingga terungkap satu pernyataan lain yang mengatakan bahwa kue adat Tamo harus dibungkus dengan penutup yang tidak tembus pandang, karena berdasarkan kebiasaan bahwa kue Tamo itu Laksana seorang wanita cantik yang sangat terhormat.( pernyataan Hengky Natingkase S.Ip. Tokoh pemuda,2006 )

Berdasarkan kesepakatan antara pemuka adat Sangihe dalam dewan adat bahwa tidak boleh lagi menggunakan bendera pada pucuk Tamo. Dengan alasan bahwa tidak ada semangat bendera merah putih dalam kue adat Tamo karena Tamo sudah ada ratusan tahun sebelum Indonesia Merdeka. ( pernyataan bapak Mehare,anggota dewan adat dalam pembicaraan tentang Tamo Raksasa di Kantor Disparbud Sangihe,2006)

1. Konstruksi tamo

Tamo memiliki unsur utama yaitu badan tamo, ditambah asesoris pada badan tamo berupa udang (dimasa lalu) dibagian dasar diletakan bermacam – macam makanan khas sangihe.Pada mulanya dibagian pucuk tamo diletakan telur yang melambangkan kehidupan baru (sesuai dengan cerita manusia mula-mula dalam cerita gumansalangi) Sesudah perang kemerdekaan maka symbol telur diganti dengan bendera negara merah putih, tahun 20006 tidak lagi menggunakan bendera pada pucuk tetapi bunga atau telur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar