Minggu, 22 Januari 2012

Misa Imlek: Untuk Apa? Untuk Siapa?

Misa Imlek: Untuk Apa? Untuk Siapa?




  


Misa Imlek memang topik lama yang selalu mengemuka saat Imlek. Sudah banyak yang menulis tentang ini, ahli liturgi maupun umat awam. Saya cuma ingin berbagi pandangan. Sama sekali tidak bermaksud menyinggung atau menyalahkan pihak lain.

Pertama-tama, tidak semua orang keturunan Cina atau Tionghoa merayakan Tahun Baru Imlek. Sebagian besar yang ada di Indonesia tidak lagi (atau tidak pernah atau tidak ingin) merayakannya. Jadi, untuk apa (dan untuk siapakah) paroki-paroki merencanakan Misa Imlek dengan sangat meriah? Perayaan Ekaristi kan bukan pertunjukan atau tontonan? Ini tentu ada kecualinya ya. Di daerah-daerah yang budaya Cina atau Tionghoanya masih sangat kental, seperti di Singkawang misalnya, tentu baik kalau diadakan dalam rangka inkulturasi. Di daerah yang lain, yang mungkin lebih banyak umatnya yang tidak mengerti, malah salah kaprah nanti. Seksi Liturgi di paroki saya sebagai contohnya, lebih dari 50% anggotanya adalah keturunan Cina atau Tionghoa, tapi tidak satupun yang benar-benar mengerti makna Imlek berikut ritualnya. Romo-romonya juga nggak ngerti. Saya nggak tahu kondisi paroki-paroki yang lain ya.

Berikutnya, hal pelarangan Misa Imlek di Keuskupan Surabaya. Banyak yang salah mengerti. Yang dilarang Uskup Surabaya bukan sembarang Misa Imlek, tapi yang kebablasan. Mungkin Anda tidak tahu di Surabaya dulu pernah ada barongsai masuk gereja saat Misa. Padahal barongsai ini menurut Wikipedia dipakai untuk ritual pengusiran roh-roh jahat. Nggak selaras dengan ajaran Gereja kan?

Susah juga sebenarnya soal barongsai ini. Kalau mau jujur, dalam rangka inkulturasi (yang benar), sebenarnya bukan tidak mungkin barongsai itu dikaji mendalam dan dimodifikasi serta disesuaikan dengan ajaran Gereja, lalu bisa digunakan dalam liturgi Gereja. Sekali lagi, bila perlu ya. Tapi pertanyaannya, benarkah perlu? Tentu ini butuh pengkajian yang mendalam dan bukan sekedar asal comot. Yang terpenting, maksudnya tentu bukan sekedar menyajikan tarian dalam upacara liturgi. Mengutip Perfek (Emeritus, saat ini) Kongregasi Tata Ibadat dan Dispilin Sakramen, Yang Utama Francis Cardinal Arinze, "... if you want to admire a dance, you know where to go, but not Mass."

Nah, umat yang mau mengucap syukur atas Tahun Baru Imlek bisa kok ikut Misa biasa di hari Senin pagi lusa (23 Jan 2012). Misa harian biasa sudah cukup kok. Tidak perlu spesial dibuatkan Misa Imlek. Sekali lagi, kecuali memang sebagian besar umat gereja itu merayakan Tahun Baru Imlek ya. Untuk paroki lainnya, rasanya nggak perlu latah ikut menyulap gereja jadi seperti klenteng atau mendandani imam ala Judge Bao.

Lalu, soal inkulturasi. Misa Imlek yang dibikin kebanyakan orang itu janganlah buru-buru disebut inkulturasi. Mungkin ada baiknya membaca dokumen-dokumen Gereja dulu. Varietates Legitimae di antaranya. Ini agar kita mengerti benar apa yang dimaksud inkulturasi oleh Magisterium Gereja Katolik. Janganlah kita berkreasi membuat Misa yang "berbeda", lalu menyebutnya "Misa Inkulturasi". Oh ya, dengan logika yang sama, semua ini berlaku juga untuk Misa 1 Suro (Tahun Baru Jawa) dan lain-lain ya.

Sebagai penutup, Gereja Katolik bukanlah lembaga pelestari budaya lokal. Mungkin tidak perlu terlalu bersemangat untuk ikut serta melestarikan budaya-budaya lokal. Mari kita melestarikan tradisi Gereja Katolik sendiri saja. Berkreasi dalam liturgi tidak dilarang, tapi harus hati2. Pahami benar aturan dan maknanya sebelum berkreasi. Yang terpenting, sejujurnya, apa sih motivasinya untuk berkreasi? Ada baiknya kita renungkan kata-kata YU Cardinal Arinze,"... we do not come to Mass to enjoy, we don't come to Mass to admire people ...".

Akhir kata, Selamat Tahun Baru Imlek bagi yang merayakan.






sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar