Rabu, 26 Maret 2008

Waruga, Monumen Peninggalan Sejarah

WARUGA adalah peti kubur batu yang merupakan makam leluhur suku bangsa Minahasa zaman dahulu dan khusus terdapat di Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara. Menurut ahli purbakala, Waruga tidak saja merupakan salah satu jenis pemakaman kuno, tetapi juga peninggalan sejarah sekaligus monumen dengan ciri khas yang berakar pada tradisi megalitik, yaitu masa ketika wilayah nusantara belum tersentuh oleh kebudayaan asing.

Waruga terbuat dari batu yang terbagi atas dua bagian, yaitu wadah dan tutup. Bentuk dan ukurannya beraneka ragam. Pada bagian dalamnya terdapat ruangan kosong berukuran 50x50x100 cm dengan tinggi sekira 1/2 sampai 2 meter. Bagian yang kosong ini dijadikan tempat penyimpanan mayat yang dimasukkan dalam posisi duduk atau jongkok. Dalam setiap Waruga, biasanya diisi lebih dari satu mayat. Setiap Waruga dihiasi dengan relief-relief yang terdiri atas bermacam-macam motif yang disesuaikan dengan kedudukan mendiang saat hidupnya. Ada motif manusia, tumbuhan, binatang, dan motif tradisional.

Penguburan mayat dalam Waruga biasanya dilakukan melalui upacara adat yang melibatkan unsur-unsur kesusastraan kuno dan suci (masembo) yang syair-syairnya berisi permohonan perlindungan serta riwayat hidup orang yang mati. Sebagai bekal kubur, setiap jenazah disertai perlengkapan, seperti alat makan minum, pisau, bahkan pedang pusaka.

Kata Waruga berasal dari kata wa yang artinya perubahan (sebutan dari ma yang dalam bahasa Indonesia merupakan awalan me-). Kata ruga berasal dari kata asli bahasa Minahasa yang berarti lembek, membubur atau mencair. Maruga berarti merebus atau direbus. Disebut demikian karena mayat seseorang yang telah dimasukkan kedalam Waruga akan membengkak seperti direbus, menjadi lembek dan mencair.

Menurut kepercayaan Malesung (Minahasa kuno) -- yang percaya kepada animisme dan dinamisme -- masyarakat lama Minahasa percaya bahwa setiap pohon, gunung, sungai, batu, dan lain-lain merupakan tempat tinggal Opo-opo atau para dewa. Sebagai contoh, Opo Soputan menghuni puncak Gunung Soputan, Opo Poluakan berdiam di Watu Pinawetengan, Opo Pionontoan di Gunung Lakon, dan Opo Makawalang berdiam di dalam bumi.

Berdasarkan cerita rakyat, konon dalam bumi, Opo Makawalang hidup ditemani beberapa ekor babi peliharaannya yang dirawat baik sehingga untuk mencium bau busuk pun babi-babi itu tak mau, apalagi bau busuk manusia. Apabila mencium bau busuk, babi itu akan menggosok-gosokkan badannya ke tiang-tiang bumi, yaitu gunung dan bukit-bukit.

Bila gosokkannya semakin keras, terjadilah gempa bumi yang dahsyat, bahkan sampai gunung yang tinggi pun akan runtuh masuk ke dalam bumi dan bekasnya dipenuhi air kemudian menjadi danau. Konon asal-usul terjadinya danau Linau, Tondano, dan Ranokulo (dekat Sarongsong) adalah bekas gunung yang tiangnya patah akibat gosokkan babi Opo Makawalang.

Untuk menghindari musibah itu, dikeluarkalah peraturan yang melarang orang menanam mayat di dalam tanah agar bau busuk mayat tidak sampai tercium babi-babi Opo Makawalang.

Kemudian orang-orang mendapat suatu cara mengubur mayat, yaitu dengan membungkus mayat itu baik-baik dengan daun woka yang membentuk mayat tersebut dalam posisi duduk di tumit. Mayat terbungkus tersebut lalu diikat dan diletakkan dalam rongga-rongga kayu besar seperti rongga pohon beringin atau dalam gua.

Dr. J. G. F. Ridel -- seorang antropolog Belanda -- memperkirakan bahwa Waruga telah ada sejak abad ke-10, jadi tiga abad setelah adanya musyawarah Malesung (Mahasa) di Watu Pinawetangan. (dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar